Rabu, 11 Mei 2016

Tuhan is Bullshit

            Bagi penulis, membahas tuhan sama saja dengan membahas suatu omong kosong. Pembahasan mengenai sesuatu yang entah berantah ini hanya akan menimbulkan banyak pertikaian yang tidak ada habisnya. Membahas tuhan hanya seperti membahas makanan yang sudah kadaluarsa, tidak layak dinikmati dan lebih pantas untuk dibuang. Dan bila memaksa untuk menikmatinya, hasilnya, maka kita akan sakit. Sebelum membahas lebih jauh, perlu ditekankan bahwa dalam penulisan ini, penulis hanya akan membahas “tuhan serta kaitannya terhadap manusia” saja, tidak ada agama, ataupun wali-walinya seperti malaikat, nabi dan para-para tokoh fiktif lainnya.
            Bagian pertama, dibagian pertama ini penulis hanya ingin menyampaikan sedikit pemikiran mengenai tuhan dari salah satu fisuf Jerman bernama Nietzsche. Hanya pembahasan singkat mengenai slogan yang cukup dikenal dari dirinya yaitu “tuhan sudah mati”. Perlu sedikit meluruskan disini, bahwa kata-kata Nietzche yang menyatakan bahwa tuhan sudah mati bukanlah suatu kata-kata yang cukup buruk. Singkatnya, hal ini dikarenakan Nietzsche melihat para pendeta pada masa itu melakukan ceramah bukan karena kehendak diri mereka atas tuhan, tetapi karena mereka dibayar, sekaligus sebagai pencitraan public. Orang-orang tidak lagi beribadah karena tuhan, tetapi karena untung rugi dan factor lainnya. Maka, anggapan bahwa tuhan sudah mati dari Nietzche itu tidaklah sepenuhnya salah.   
            Bagian kedua, sejarah tuhan dalam kehidupan manusia. Berbicara mengenai sejarah tuhan itu sama saja dengan berbicara sejarah manusia. Entitas yang disebut manusia ini tidak berjauhan munculnya dengan delusi yang disebut tuhan ini. Keduanya sama-sama tua. Willhelm Schimdt dalam bukunya “The Origin of The Idea of God (1912)” mengutarakan bahwa pada awalnya manusia primitive di Afrika menciptakan satu tuhan yang merupakan penguasa bagi langit dan bumi, sekaligus penyebab pertama dari segala sesuatu. Pemikiran kuno ini lahir jauh sebelum adanya pemikiran tentang dewa-dewi muncul dalam kepala manusia, dan tentu sebelum ilmu pengetahuan dan filsafat muncul. Dimulai dari sejak saat itu, manusia mulai mencari mengenai tuhan.
            Proses mengenai pencarian akan tuhan ini malah memunculkan suatu pertanyaan kritis yang cukup fenomenal,: “manusia yang menciptakan tuhan? Atau tuhan yang menciptakan manusia?”. Kesadaran manusia akan kelemahan dirinya sendiri memunculkan suatu konsep baru dalam dirinya, suatu konstruksi yang terus menerus disempurnakan, memberikan sifat-sifat yang diharapkan oleh manusia sendiri kepada sosok delusi itu, hingga sosok tersebut menjadi eksis. Terlihat jelas bahwa dari sini kita tahu bawha sebenarnya kita sendirilah yang membuat tuhan, tuhan hanya sebagai tempat pemuas kebutuhan manusia akan hal-hal tertentu. Namun dilain sisi justru hal ini memberikan jawaban lain bahwa tuhan dengan segala kemampuannya yang tidak dapat dijelaskan ini merupakan pembuat dari semua hal, termasuk manusia itu sendiri.
            Bagian ketiga, dibagian ini penulis akan menyampaikan beberapa pendapat mengenai pembahasan ini. Seperti yang telah penulis katakana diawal, membahas tuhan sama saja dengan membahas suatu omong kosong. Percayalah, ini hanya akan membuang-buang waktu. Tuhan, Dewa, God, Allah, Yahwe, Elohim, Elah, dan berbagai macam sebutan lainya. Siapa yang membuat semua sebutan ini? Siapa yang mengartikan semua sebutan ini? Siapa yang terus membicarakan sebutan ini? Siapa yang berdebat mengenai sebutan ini? Siapa yang berkonflik hingga perang hanya karena sebutan ini? Dan siapa yang dengan bodohnya memohon, meminta bantuan, berdoa, mengharapkan, memuji, membela, memuja, serta mati hanya demi sebutan ini? Tidak perlu munafik, bersembunyi dan mencari-cari jawaban lain, tentu saja jawabanya sudah sangat jelas.
              Entitas yang disebut manusia ini sebenarnya secara alamiah adalah mahluk yang memiliki kecendrungan untuk percaya akan sesuatu. Sederhanannya seperti ini, manusia memiliki semacam “Belife Engine” yang tertanam pada otaknya. Suatu kecendrungan untuk membuat pola atau makna akan sesuatu. Kita cenderung menghubungkan titik A dengan titik B, menghubungkan event satu dengan event lainnya, menghubungkan sebab dan akibat. Inilah yang disebut dengan “association learning”. Dan manusia, salah satu “advance pattern-seeking animal” yang sangat pintar dalam hal ini. Pintar dalam mencari makna atau pola, bahkan dari sebuah informasi acak yang tidak memiliki pola sekalipun.
            Terlebih lagi, entitas yang disebut manusia ini mudah sekali terpengaruh dengan sesuatu yang menarik perhatian. Ini bukan masalah benar atau sala, ini hanya soal kenyamanan saja. Ketika entitas ini berhadapan atau mendapatkan suatu informasi, akan lebih cepat dan mudah untuk percaya, karena itu nyaman baginya. Ketimbang harus skeptis terhadap sesuatu itu, skeptis hanyalah seperti sesuatu yang merusak kesenangan dari kenyamanan tersebut, sifatnya yang merusak pola dan mempertanyakan kembali informasi inilah yang membuat entitas disebut manusia ini  kurang meminatinya.
            Terlebih lagi untuk tambaha, entitas yang disebut manusia ini sebenarnya merupakan mahluk yang cukup lemah dan menyedihkan, terlahir dengan banyak penderitaan dan rasa sakit membuat mereka untuk mencari-cari cara agar dapat menemukan sesuatu yang lebih kuat dari dirinya. Sebagai tempat bersandar, tempat memohon, tempat berlindung, serta melampiaskan semua rasa dan keinginan kepada sesuatu itu, hingga dirinya merasa nyaman dan aman. Entah apa sesuatu itu, mereka sendiri tidak mengetahuinya, dimana sesuatu itu, mereka sendiri tidak mengetahuinya, bahkan ada atau tidakpun sesuatu itu, sebagian dari mereka bahkan tidak mengetahuinya sama sekali.
            Sebagai penutup dari penulis sendiri, mengakui bahwa entitas ini lemah memang tidak dapat dihindari kenyataanya. Namun bukan berarti ini mengartikan untuk terus menjadi lemah dan menerima keadaan, entitas ini sebenarnya dapat menjadi kuat dengan kemampuannya sendiri. Alih-alih mengatakan bahwa diri mereka kuat karena ada tuhan adalah pembuktian bahwa mereka tetap lemah dan tidak berkembang, menjadikan manusia terlalu manja terhadap delusinya sendiri. Justru karena memang mereka itu terlahir dengan penderitaan dan rasa sakit, hal itulah yang membuat merekaa menjadi kuat, manusia sejatinya dapat kuat denga kemampuannya sendiri tanpa berpangku tangan dan bersandar kepada delusinya sendiri. Seperti yang telah penulis katakana di awal, tuhan sama seperti makanan kadaluarsa, anda lapar, dan anda butuh makanan saat itu, karena anda merasakan rasa sakit tersebut, anda menjadi lemah dan merasa tak berdaya, akirnya anda memakannya, terasa enak dan dapat menyembuhkan lapar memang, tetapi itu hanya sementara yang akhirnya memaksa anda untuk memakan kembali makanan itu  dan berpikiran bahwa makanan itulah yang membuat anda sehat dan tidak memakannya adalah yang membuat anda sakit, padahal makanan tersebut adalah penyebab dari sakit berkepanjangan itu.
            Sedikit spekulasi dari penulis, tidak penting ada atau tidaknya entitas tuhan untuk dunia ini. Meskipun sekarang konsep tuhan sudah semakin menyebar dan anggapan tentang tuhan sudah mati menjadi slogan yang menarik. Namun, bagaimanapun, tuhan tidak akan pernah mati, karena konsep mengenai “tuhan” telah kita bicarakan, ketika kita sebut tuhan mati, maka secara tidak langsung kita telah menghidupkan tuhan tersebut dengan membicarakannya terus-menerus. Namun selintas terpikirkan hal menarik dalam pikiran saya mengenai suatu pembicaraan, suatu pembicaraan tidak akan selamanya dapat terus dibicarakan yang artinya suatu pembicaraan dapat terlupakan. Maka dengan ini saya berspekulasi bahwa slogan mengenai tuhan telah mati adalah keliru, tetapi suatu saat nanti, ketika tuhan sudah mencapai tahap perbincangan yang maksimal, maka “tuhan akan terlupakan”.
            Anda adalah unik, anda adalah tidak dapat dijelaskan, anda tidak dapat dimengerti, anda tidak dapat dipahami, anda dapat membuat, dan anda dapat menghancurkannya juga, maka anda adalah tuhan, bercerminlah dan anda akan melihat sosok tuhan. Tuhan adalah eksistensi atas apa yang ada dihadapannya.

Referensi:
Levine, Peter. Nietzsche and The Modern Crisis of the Humanities. Harper & Row Publisher, New York, 1976.
Nietzsche, Friedrich. Sabda Zarathustra. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Divisi Kajian Badan Otonom Economica. Economica Papers Edisi 66. April 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar