Nama: Fauzan Zahid
Abiduloh
Tugas : Filsafat Sosial (Review
bahan bacaan "Social ontology"
dari John R. Searle)
Tulisan ini penulis
rancang sebagai review pemikiran Searle dalam sebuah artikelnya berjudul Anthropological Theory. Artikel ini
berisi pemikiran Searle terkait ontologi sosial. Ontologi sosial yang dikaji
olehnya, berisi jaminan bagi ilmu-ilmu sosial untuk bekerja, dan berisi
pemikirannya mengenai struktur logis sosial manusia yang ia kaji dalam sebuah
kajian institusional ontologi yang ia sebut sebagai bagian dari kajian ontologi
sosial dan pas untuk membedakan distingsi ontologi sosial manusia dengan
species lainnya. Sebagai tambahan, artikel yang direview disini adalah
pengembangan dari teori dalam bukunya yaitu The
Construction of Social Reality, jadi untuk mengetahui tesis statementnya
yang sangat orisinil bisa dibaca dalam buku tersebut.
1.
Jaminan bagi Ilmu Sosial
Searle berangkat dari keyakinan
berupa adanya fakta-fakta sosial, seperti uang, sebuah tim sepakbola, suatu
Negara, dan fakta-fakta sosial lainnya. Adanya fakta-fakta itu dapat kita
verifikasi dengan mudah lewat fakta-fakta empiris, jadi tak ada alasan untuk
memperdebatkannya. Yang menjadi menarik adalah, mengapa fakta-fakta itu
dinamakan sebagai fakta sosial? Apa yang membedakannya dari fakta lainnya? Kita
tahu bahwa matahari selalu terbit dari timur, kita tahu bahwa air jika
dipanaskan akan menguap, dan kita juga tahu bahwa air jika didinginkan dalam
suhu yang sangat rendah akan membeku, fakta-fakta semacam itu kita ketahui
secara pasti adalah fakta-fakta yang begitu adanya, proses dari sebab ke
akibatnya tidak bergantung pada seorang rational
agent, yaitu manusia, Searle menyebut sebagai observer independent. Disamping itu, kita mengenal suatu fakta
lainnya berupa suatu kertas bergambar Patimura dengan label Bank Indonesia yang
kita ketahui secara pasti adalah uang
yang nilainya seribu rupiah. Apa yang membedakan keduanya? Jika dalam jenis
fakta yang pertama tadi tidak ada campur tangan rational agent, maka dalam
jenis fakta yang kedua tadi kita sadari adanya rational agent yang berperan
dalam membebankan fungsi pada suatu kertas bernama uang dan menerimanya sebagai
alat tukar dalam transaksi ekonomi, Searle menyebut jenis kedua ini sebagai observer relative. Jadi singkatnya kita
dapat bedakan suatu fakta adalah fakta sosial dengan menanyakan apakah fakta
itu terlepas dari rational agent atau tidak?
Kita sudah tahu bahwa berbagai
macam penampakan yang exis secara independen dari rational agent adalah
observer independent, sedangkan yang exis bergantung pada rational agent adalah
observer relative. Tapi, dalam kenyataannya kehadiran kesadaran dan
intensionalitas, fakultas-fakultas yang dimiliki manusia, denganya observer
relative bekerja, pada dasarnya adalah fenomena observer independent; perilaku
yang dimiliki para conscious agent bukan pada dirinya sebagai observer
relative, melainkan observer independent, karna jika ia adalah observer
relative bagaimana ada sebuah komunitas yang dapat memanipulasi kealamiahan
manusia seperti kesadaran dan intensionalitas, bahkan dalam menjelaskan
kesadaran itu sendiri para psikolog, fisioterapi, dan para filsuf masih
diambang kebuntuan. Jadi dengan kata lain, eksistensi observer relative
dihasilkan atau diciptakan oleh suatu set fenomena mental observer independent.
Bagi Searle, tak dapat
dipungkiri, bahwa diskusi-diskusi seputar ontologi sosial klasik banyak berjasa
pada pemikiran kita, seperti Max Weber, Georg Simmel, Emile Durkheim, dan
Alfred Schutz, bahkan sebelum mereka seperti Hume, Rousseau, dan Adam Smith.
Tapi mereka semua memiliki satu kesalahan yang sama, yaitu mereka mengatakan
bahwa bahasa sebagai sesuatu yang terberi, sesuatu yang diandaikan begitu saja
ada, lalu dengan begitu saja membahas tentang bagaimana terbentuknya sosial.
Bagi Searle, kita tak akan dapat memahami apa yang sangat unik dari human society,
dibandingkan dengan primata dan sejeinsnya, kecuali jika kita telah mengetahui
terlebih dahulu apa yang special dari penampakan bahasa manusia. Jadi bagi
Searle, kajian mengenai bahasa sangat dibutuhkan untuk membedah ontologi
sosial, bukan hanya dari fungsi bahasa tersebut seperti Bourdieu yang
mengatakan bahwa siapa yang menguasai dan dapat mengontrol linguistic
categorizations memiliki kuasa atas sosial, bukan juga sepeti Habermas yang
mengatakan bahwa ia berfungsi untuk mencapai rational agreement, tapi bagi
Searle, kita harus temukan aturan-aturan konstitutifnya, atau dalam kata lain
kita harus temukan basis basis- dan fungsi-fungsi fundamentalnya. Bahasan
mengenai bahasa akan dibahas di bagian selanjutnya mengingat di bagian pertama
ini kita akan menekankan pada jaminan Searle akan bekerjanya ilmu sosial.
Searle mengakui adanya
pemilahan antara subjektifitas dan objektifitas, baginya ini jelas, namun akan
menjadi ambigu bila diterapkan pada distingsi epistemic sense dan ontological
sense. Contoh, statement seperti “Ayi lahir pada tahun 1945” kita kenali
sebagai statement yang masuk dalam kategori pengetahuan objektif karna semua
orang dapat tahu bahwa itu memang demikian, ini dapat dibedakan dengan
statement “Ayi lebih Tampan dari Fristian” yang kita kenali kemudian sebagai
sesuatu yang subjektif, dari sini kita dapat dengan jelas bedakan episteme
objektif dan episteme subjektif. Sekarang mari kita lihat ontologi subjektif
dan objektif, contoh, kita lihat ada pegunungan, hutan, lautan,
binatang-binatang semuanya ada secara objektif karena ia independent dari kita,
sedangkan kesedihan, kepedihan, kesenangan adalah contoh-contoh dari ontologi
subjektif karena keberadaannya bergantung pada kita yang merasakan. Jika sebelumnya
kita mengetahui ada yang dinamakan observer relativity yaitu fakta-fakta yang
bergantung pada attitude dari rational agents, maka sekarang kita
mengetahui adanya ontological subjectivity. Lalu apa kaitannya dengan epistemic
sense? Ambilah sebuah contoh, uang bernilai seribu rupiah, yang sudah penulis
singgung lebih dulu, adalah sesuatu yang dapat diketahui oleh semua orang
secara objektif, namun keberadaan uang itu bernilai seribu dan berstatus
sebagai alat tukar bukan karena uang itu sendiri secara fisik menunjukan
demikian, tapi karna adanya human
attitude yang bekerja dalam membuat aturan formal bahwa itu adalah alat
tukar, dan attitude ini kita tahu
adalah ontological subjectivity. Artinya apa? Ini menunjukan bahwa observer
relativity memang menyebabkan ontological subjectivity, tapi ontological
subjectivity tidak menghalangi pengetahuan objektif darinya, epistemic
objectivity.
Poin terpenting dari
diskusi soal episteme dan ontologi tadi, adalah adanya kesimpulan sah bahwa
pengetahuan objektif tidak harus didapatkan dari ontological objectivity.
Pentingnya apa? Dalam kajian mengenai ontologi sosial ini menjadi dalih yang
sangat penting, setidaknya penulis menganggap demikian, karna apa yang esensial
dalam sosial, tentu ini dari Searle, adalah elemen-elemen ontological
subjectivity dan dengan demikian kajian ontologi sosial dapat dijamin
kebenarannya. Jadi, dalam artian lain, jika tidak mungkin didapatkan
pengetahuan objektif dari ontologi sosial, akan menjadi mustahil bagi ilmu
sosial untuk bekerja.
2.
Struktur Logis Sosial
Lewat serangkaian
jaminan tadi, kita bisa setidaknya mendapatkan basis yang menopang pembahasan
selanjutnya terkiat ontologi sosial. Dengan landasan ini pula Searle
melanjutkan bahasannya untuk cari struktur logis yang dapat digariskan bagi
seluruh fenomena sosial manusia, ada satu goal yang ingin dicapai Searle adalah
pembedaan yang jelas antara ontologi sosial manusia dengan hewan dimana ia
membahas hal itu lewat institutional ontology sebagai divisi yang khas bagi
manusia.
Untuk mengetahui
gagasan Searle tentang human society kita
perlu mengenal terlebih dahulu Thesis statementnya, yaitu bahwa ontologi sosial
manusia mempunya sebuah struktur logis karena human attitude adalah hasil konstitutif realitas sosial dan attitude itu memiliki konten
proposisional dengan relasi-relasi logis. Dari sini kita bisa menerka bahwa
pemikiran Searle adalah pemikiran strukturalisme dimana human attitude dikonstitusi lewat serangkaian proposisi logis yang
menjadi struktur dari sosial itu. Dengan demikian struktur logis yang ia
tawarkan, ia jadikan sebuah indikator bagi suatu ontologi sosial apakah dia human society atau bukan. Tentu lewat
Thesis Statemennya tadi ia mau buktikan bahwa dari serangkaian bentuk sosial
manusia yang ada, yang kita tahu bahwa itu sangatlah beragam satu sama lain,
punya satu garis incommon yang dapat
menjustifikasi itu sebagai human society.
Menurutnya perbedaan bentuk hanyalah perbedaan yang tampak dari permukaannya
saja, bila kita selidiki hingga ke bagian di balik permukaan itu kita bisa
temukan sebuah struktut logis yang simpel. Seperti sebuah analogi dari ilmu
alam, adalah sangat berbeda jika kita melihat api unggun dengan sekop yang
berkarat bukan? Yang satu adalah api yang menyala dari kayu bakar, sedangkan
yang lainnya adalah logam yang berkarat, tapi dibalik fenomena yang nampak pada
kita itu adalah suatu proses yang berasal dari suatu nalar simpel, yaitu adanya
oksidasi. Begitu pun dengan sosial, fakta-fakta sosial yang kita temukan sangat
berbeda antara uang seribu rupiah dengan sebuah tim sepakbola bernama Persib
Bandung, tapi keduanya memiliki hal yang sama, yaitu adanya status function yang dihasilkan oleh collective intentionality lewat assignment of function.
Dalam human society yang dikaji lewat
institusional reality sebagai divisi khas ontologi sosial manusia ada tiga
komponen penting yang akan penulis coba ringkas disini, yaitu collective intentionality, assignment of
function, dan constitutive rules and
procedures. Collective intentionality
adalah keterarahan mental state
terhadap suatu objek, diarahkan, atau tentang sesuatu yang dibagi oleh beragam
individu. Assignment of function adalah
pembebanan fungsi kepada suatu objek, karena ia sifatnya dibebankan maka fungsi
itu tidak dimiliki oleh objeknya secara intrinsik tapi dibebankan untuk
kepentingan orang-orang yang terlibat dalam pembebenan secara kolektif.
Terakhir, constitutive rules and
procedures adalah aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang dikonstitusi dan
berlaku berkat adanya status function, dan
status function itu sendiri
dihasilkan oleh collective intentionality
dan assignment of function.
Setiap manusia, bahkan
mungkin spesies lainnya, memiliki kemampuan untuk bekerjasama, dan bertahan
dalam kebersamaan itu sehingga dimungkinkan adanya pembagian attitude yang berbeda-beda dengan goal
yang sama. Kemampuan ini tidak lain adalah collective
intentionality, dan ini menjadi penting bagi teori-teori sosial berkat
adanya kenyataan bahwa behavior dan attitude dalam suatu komunitas dapat
berbeda-beda meski goalnya sama, contohnya adalah seperti memainkan gitar
sebagai bagian dari memainkan sebuah band; artinya, saya melakukan sesuatu sebagai bagian dari kita
melakukan sesuatu. Dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari komunitas sosial
melakukan sesuatu tentunya disertai pembagian fungsi yang dibebankan demi
kepentingan keterarahan itu, oleh karena itu kita butuh fungsi-fungsi yang
dibebankan pada setiap individu yang terlibat dalam collective intentionality tersebut, yaitu lewat assignment of function. Assignment
of function ini yang tentunya merupakan pembebanan yang dilakukan secara
kolektif, menghasilkan status function.
Apa itu status function? Adalah
fungsi yang dihasilkan lewat pemberian status pada suatu objek, yang mana objek
tersebut tidak secara intrinsik menunjukan statusnya, tapi status itu
dikonstitusi oleh sosial lewat assignment
of function. Oleh karena itu, statusku sebagai pemain gitar dibebankan oleh
bandku, dan karenanya aku dibebani fungsi, untuk mencapai tujuan bersama yaitu
memainkan band. Sejauh ini kita bisa lihat bahwa collective intentionality menyebabkan collective assignment of function.
Bagi Searle semua
fungsi itu tidak ditunjukan secara intrinsik oleh objek yang memilikinya, tapi
diberikan oleh sosial sehingga setiap fungsi adalah observer relative. Tentu kita bisa pertanyakan argumennya ini, tapi
ia tak terlalu ambil pusing dengan ini, ia hanya mengatakan bahwa gagasa
tentang function terdiri dari
komponen-komponen normatif yang tidak ada dalam gagasan tentang causes, dengan kata lain fungsi bukan
hanya penyebab suatu tujuan tapi ia juga melayani tujuan itu agar tercapai.
Lebih lanjut, Searle
berupaya untuk memberikan sebuah gagasan kunci untuk membedakan manusia dengan
spesies yang lainnya. Bagi manusia, objek yang dibebankan padanya status function bukan karena struktur
fisiknya, tapi karena adanya collective
intentionality yang membebankan sebuah status tertentu sehingga objek yang
disematkan status itu dapat menjalankan fungsinya yang mana fungsi tersebut
tidak dapat dilakukan tanpa adanya collective
acceptance. Contoh kasus favorit Searle adalah uang, uang, tidak seperti
pisau yang disematkan padanya fungsi untuk memotong karena struktur pisaunya
yang menunjukan demikian, tidak secara mandiri menunjukan bahwa ia adalah alat
tukar, tapi ia memiliki status sebagai alat tukar karena adanya collective acceptance. Sehingga disini,
struktur fisik tidaklah relevan untuk menunjukan status fungsi dari sesuatu.
Kasus yang menarik lagi adalah soal tembok pembatas Negara, pada awalnya tembok
itu dibangun tinggi dan kokoh untuk menjaga setiap individu dari masig-masing
masyarakat tetap didalam wilayahnya, dari sini kita tahu ada relevansi antara
struktur fisik dan status function.
Sekarang bayangkan jika waktu telah berlalu dan yang tersisa adalah puing-puing
rapuh dari tembok itu, tapi karena adanya collective
acceptance bahwa tembok itu memiliki fungsi untuk membatasi mereka, status function itu masih dimiliki oleh
tembok pembatas tersebut, dari sini kita bisa lihat bahwa struktur fisik tidak
lagi relevan bagi status function
yang diterima ada dimiliki oleh tembok itu. Dari sini kita dapat pengetahuan
soal apa yang membedakan antara human
society dengan spesies lainnya, yaitu adanya penciptaan status function yang tidak lebih adalah
hasil dari karya dan kekuatan institusi. Adanya fakta-fakta institusional yang
membedakan realitas sosial manusia dengan realitas sosial lainnya.
Karena human society tidak dapat terlepas dari
penciptaan status function, maka assignment of function sebagai
penyematnya telah menjadi reguler dan karenannya menjadi aturan konstitutif
yang berlaku, ia telah menjadi constitutive
rules and procedures. Disini Searle mencoba untuk memberikan rumusannya,
baginya rumus assignment of function yaitu
X counts
as Y in context C. Sesuatu sedemikian rupa dianggap sebagai uang bernilai
seribu rupiah di Indonesia, Obama dianggap sebagai presiden Amerika Serikat,
inilah contoh dari adanya sesuatu yang sedemikian rupa dianggap memiliki status
dalam suatu kontek tertentu. Lebih jauh, untuk menjamin dengan formula ini
dapat dibedakan realitas sosial manusia dengan spesies lainnya, Searle mengatakan
bahwa rumusannya ini dapat berkembang lebih tinggi levelnya, artinnya kita
tidak hanya memiliki satu fakta institusional tapi kita punya satu seri
fakta-fakta institusional yang saling menjaga satu sama lain.
Apa pentingnya itu
semua? Apa pentingnya status fungsi itu? status fungsi adalah motor yang
menggerakan kekuatan sosial, karena dengan menerima status fungsi itu kita
menerima serangkaian obligasi, hak-hak, tanggungjawab, dan hal lainnya, ini
yang kemudian disebut sebagai deontic
power. Bagi spesies selain manusia, tak dapat ditemukan adanya deontic power. Tapi apa pentingnya deontic power itu? deontic power ini memberikan alasan bagi manusia untuk berperilaku
dalam sosial, untuk mengenal mana yang namanya kewajiban, hak, otoritasi, dan
semacamnya. Sekilas kita bisa lihat bahwa ada teori etika deontology I. kant
disini, tapi untuk mempertanyakan orisinilitas argumennya Searle bukan bahasan
yang penting, karena poin pentingnya adalah bahwa dalam human society dapat ditemukan struktur deontis yang memungkinkan
adanya desire-independent reasons untuk
berperilaku. Ini lah yang tidak ditemukan dalam kerajaan hewan, dimana hewan
tidak memiliki deontology.
Jadi mari kita
ringkaskan, bahwa adanya status function,
deontic power, dan desire-independent
reason untuk berperilaku adalah elemen-elemen yang membedakan realitas
sosial kita dengan spesies lainnya.