Senin, 23 Februari 2015

Filsafat Sosial (Review bahan bacaan "Social ontology" dari John R. Searle) versi 1

Nama: Fauzan Zahid Abiduloh
Tugas : Filsafat Sosial (Review bahan bacaan "Social ontology" dari John R. Searle)

Tulisan ini penulis rancang sebagai review pemikiran Searle dalam sebuah artikelnya berjudul Anthropological Theory. Artikel ini berisi pemikiran Searle terkait ontologi sosial. Ontologi sosial yang dikaji olehnya, berisi jaminan bagi ilmu-ilmu sosial untuk bekerja, dan berisi pemikirannya mengenai struktur logis sosial manusia yang ia kaji dalam sebuah kajian institusional ontologi yang ia sebut sebagai bagian dari kajian ontologi sosial dan pas untuk membedakan distingsi ontologi sosial manusia dengan species lainnya. Sebagai tambahan, artikel yang direview disini adalah pengembangan dari teori dalam bukunya yaitu The Construction of Social Reality, jadi untuk mengetahui tesis statementnya yang sangat orisinil bisa dibaca dalam buku tersebut.
1.      Jaminan bagi Ilmu Sosial
Searle berangkat dari keyakinan berupa adanya fakta-fakta sosial, seperti uang, sebuah tim sepakbola, suatu Negara, dan fakta-fakta sosial lainnya. Adanya fakta-fakta itu dapat kita verifikasi dengan mudah lewat fakta-fakta empiris, jadi tak ada alasan untuk memperdebatkannya. Yang menjadi menarik adalah, mengapa fakta-fakta itu dinamakan sebagai fakta sosial? Apa yang membedakannya dari fakta lainnya? Kita tahu bahwa matahari selalu terbit dari timur, kita tahu bahwa air jika dipanaskan akan menguap, dan kita juga tahu bahwa air jika didinginkan dalam suhu yang sangat rendah akan membeku, fakta-fakta semacam itu kita ketahui secara pasti adalah fakta-fakta yang begitu adanya, proses dari sebab ke akibatnya tidak bergantung pada seorang rational agent, yaitu manusia, Searle menyebut sebagai observer independent. Disamping itu, kita mengenal suatu fakta lainnya berupa suatu kertas bergambar Patimura dengan label Bank Indonesia yang kita ketahui  secara pasti adalah uang yang nilainya seribu rupiah. Apa yang membedakan keduanya? Jika dalam jenis fakta yang pertama tadi tidak ada campur tangan rational agent, maka dalam jenis fakta yang kedua tadi kita sadari adanya rational agent yang berperan dalam membebankan fungsi pada suatu kertas bernama uang dan menerimanya sebagai alat tukar dalam transaksi ekonomi, Searle menyebut jenis kedua ini sebagai observer relative. Jadi singkatnya kita dapat bedakan suatu fakta adalah fakta sosial dengan menanyakan apakah fakta itu terlepas dari rational agent atau tidak?
Kita sudah tahu bahwa berbagai macam penampakan yang exis secara independen dari rational agent adalah observer independent, sedangkan yang exis bergantung pada rational agent adalah observer relative. Tapi, dalam kenyataannya kehadiran kesadaran dan intensionalitas, fakultas-fakultas yang dimiliki manusia, denganya observer relative bekerja, pada dasarnya adalah fenomena observer independent; perilaku yang dimiliki para conscious agent bukan pada dirinya sebagai observer relative, melainkan observer independent, karna jika ia adalah observer relative bagaimana ada sebuah komunitas yang dapat memanipulasi kealamiahan manusia seperti kesadaran dan intensionalitas, bahkan dalam menjelaskan kesadaran itu sendiri para psikolog, fisioterapi, dan para filsuf masih diambang kebuntuan. Jadi dengan kata lain, eksistensi observer relative dihasilkan atau diciptakan oleh suatu set fenomena mental observer independent.
Bagi Searle, tak dapat dipungkiri, bahwa diskusi-diskusi seputar ontologi sosial klasik banyak berjasa pada pemikiran kita, seperti Max Weber, Georg Simmel, Emile Durkheim, dan Alfred Schutz, bahkan sebelum mereka seperti Hume, Rousseau, dan Adam Smith. Tapi mereka semua memiliki satu kesalahan yang sama, yaitu mereka mengatakan bahwa bahasa sebagai sesuatu yang terberi, sesuatu yang diandaikan begitu saja ada, lalu dengan begitu saja membahas tentang bagaimana terbentuknya sosial. Bagi Searle, kita tak akan dapat memahami apa yang sangat unik dari human society, dibandingkan dengan primata dan sejeinsnya, kecuali jika kita telah mengetahui terlebih dahulu apa yang special dari penampakan bahasa manusia. Jadi bagi Searle, kajian mengenai bahasa sangat dibutuhkan untuk membedah ontologi sosial, bukan hanya dari fungsi bahasa tersebut seperti Bourdieu yang mengatakan bahwa siapa yang menguasai dan dapat mengontrol linguistic categorizations memiliki kuasa atas sosial, bukan juga sepeti Habermas yang mengatakan bahwa ia berfungsi untuk mencapai rational agreement, tapi bagi Searle, kita harus temukan aturan-aturan konstitutifnya, atau dalam kata lain kita harus temukan basis basis- dan fungsi-fungsi fundamentalnya. Bahasan mengenai bahasa akan dibahas di bagian selanjutnya mengingat di bagian pertama ini kita akan menekankan pada jaminan Searle akan bekerjanya ilmu sosial.
Searle mengakui adanya pemilahan antara subjektifitas dan objektifitas, baginya ini jelas, namun akan menjadi ambigu bila diterapkan pada distingsi epistemic sense dan ontological sense. Contoh, statement seperti “Ayi lahir pada tahun 1945” kita kenali sebagai statement yang masuk dalam kategori pengetahuan objektif karna semua orang dapat tahu bahwa itu memang demikian, ini dapat dibedakan dengan statement “Ayi lebih Tampan dari Fristian” yang kita kenali kemudian sebagai sesuatu yang subjektif, dari sini kita dapat dengan jelas bedakan episteme objektif dan episteme subjektif. Sekarang mari kita lihat ontologi subjektif dan objektif, contoh, kita lihat ada pegunungan, hutan, lautan, binatang-binatang semuanya ada secara objektif karena ia independent dari kita, sedangkan kesedihan, kepedihan, kesenangan adalah contoh-contoh dari ontologi subjektif karena keberadaannya bergantung pada kita yang merasakan. Jika sebelumnya kita mengetahui ada yang dinamakan observer relativity yaitu fakta-fakta yang bergantung pada attitude dari rational agents, maka sekarang kita mengetahui adanya ontological subjectivity. Lalu apa kaitannya dengan epistemic sense? Ambilah sebuah contoh, uang bernilai seribu rupiah, yang sudah penulis singgung lebih dulu, adalah sesuatu yang dapat diketahui oleh semua orang secara objektif, namun keberadaan uang itu bernilai seribu dan berstatus sebagai alat tukar bukan karena uang itu sendiri secara fisik menunjukan demikian, tapi karna adanya human attitude yang bekerja dalam membuat aturan formal bahwa itu adalah alat tukar, dan attitude ini kita tahu adalah ontological subjectivity. Artinya apa? Ini menunjukan bahwa observer relativity memang menyebabkan ontological subjectivity, tapi ontological subjectivity tidak menghalangi pengetahuan objektif darinya, epistemic objectivity.
Poin terpenting dari diskusi soal episteme dan ontologi tadi, adalah adanya kesimpulan sah bahwa pengetahuan objektif tidak harus didapatkan dari ontological objectivity. Pentingnya apa? Dalam kajian mengenai ontologi sosial ini menjadi dalih yang sangat penting, setidaknya penulis menganggap demikian, karna apa yang esensial dalam sosial, tentu ini dari Searle, adalah elemen-elemen ontological subjectivity dan dengan demikian kajian ontologi sosial dapat dijamin kebenarannya. Jadi, dalam artian lain, jika tidak mungkin didapatkan pengetahuan objektif dari ontologi sosial, akan menjadi mustahil bagi ilmu sosial untuk bekerja.
2.      Struktur Logis Sosial
Lewat serangkaian jaminan tadi, kita bisa setidaknya mendapatkan basis yang menopang pembahasan selanjutnya terkiat ontologi sosial. Dengan landasan ini pula Searle melanjutkan bahasannya untuk cari struktur logis yang dapat digariskan bagi seluruh fenomena sosial manusia, ada satu goal yang ingin dicapai Searle adalah pembedaan yang jelas antara ontologi sosial manusia dengan hewan dimana ia membahas hal itu lewat institutional ontology sebagai divisi yang khas bagi manusia.
Untuk mengetahui gagasan Searle tentang human society kita perlu mengenal terlebih dahulu Thesis statementnya, yaitu bahwa ontologi sosial manusia mempunya sebuah struktur logis karena human attitude adalah hasil konstitutif realitas sosial dan attitude itu memiliki konten proposisional dengan relasi-relasi logis. Dari sini kita bisa menerka bahwa pemikiran Searle adalah pemikiran strukturalisme dimana human attitude dikonstitusi lewat serangkaian proposisi logis yang menjadi struktur dari sosial itu. Dengan demikian struktur logis yang ia tawarkan, ia jadikan sebuah indikator bagi suatu ontologi sosial apakah dia human society atau bukan. Tentu lewat Thesis Statemennya tadi ia mau buktikan bahwa dari serangkaian bentuk sosial manusia yang ada, yang kita tahu bahwa itu sangatlah beragam satu sama lain, punya satu garis incommon yang dapat menjustifikasi itu sebagai human society. Menurutnya perbedaan bentuk hanyalah perbedaan yang tampak dari permukaannya saja, bila kita selidiki hingga ke bagian di balik permukaan itu kita bisa temukan sebuah struktut logis yang simpel. Seperti sebuah analogi dari ilmu alam, adalah sangat berbeda jika kita melihat api unggun dengan sekop yang berkarat bukan? Yang satu adalah api yang menyala dari kayu bakar, sedangkan yang lainnya adalah logam yang berkarat, tapi dibalik fenomena yang nampak pada kita itu adalah suatu proses yang berasal dari suatu nalar simpel, yaitu adanya oksidasi. Begitu pun dengan sosial, fakta-fakta sosial yang kita temukan sangat berbeda antara uang seribu rupiah dengan sebuah tim sepakbola bernama Persib Bandung, tapi keduanya memiliki hal yang sama, yaitu adanya status function yang dihasilkan oleh collective intentionality lewat assignment of function.
Dalam human society yang dikaji lewat institusional reality sebagai divisi khas ontologi sosial manusia ada tiga komponen penting yang akan penulis coba ringkas disini, yaitu collective intentionality, assignment of function, dan constitutive rules and procedures. Collective intentionality adalah keterarahan mental state terhadap suatu objek, diarahkan, atau tentang sesuatu yang dibagi oleh beragam individu. Assignment of function adalah pembebanan fungsi kepada suatu objek, karena ia sifatnya dibebankan maka fungsi itu tidak dimiliki oleh objeknya secara intrinsik tapi dibebankan untuk kepentingan orang-orang yang terlibat dalam pembebenan secara kolektif. Terakhir, constitutive rules and procedures adalah aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang dikonstitusi dan berlaku berkat adanya status function, dan status function itu sendiri dihasilkan oleh collective intentionality dan assignment of function.
Setiap manusia, bahkan mungkin spesies lainnya, memiliki kemampuan untuk bekerjasama, dan bertahan dalam kebersamaan itu sehingga dimungkinkan adanya pembagian attitude yang berbeda-beda dengan goal yang sama. Kemampuan ini tidak lain adalah collective intentionality, dan ini menjadi penting bagi teori-teori sosial berkat adanya kenyataan bahwa behavior dan attitude dalam suatu komunitas dapat berbeda-beda meski goalnya sama, contohnya adalah seperti memainkan gitar sebagai bagian dari memainkan sebuah band; artinya, saya  melakukan sesuatu sebagai bagian dari kita melakukan sesuatu. Dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari komunitas sosial melakukan sesuatu tentunya disertai pembagian fungsi yang dibebankan demi kepentingan keterarahan itu, oleh karena itu kita butuh fungsi-fungsi yang dibebankan pada setiap individu yang terlibat dalam collective intentionality tersebut, yaitu lewat assignment of function.  Assignment of function ini yang tentunya merupakan pembebanan yang dilakukan secara kolektif, menghasilkan status function. Apa itu status function? Adalah fungsi yang dihasilkan lewat pemberian status pada suatu objek, yang mana objek tersebut tidak secara intrinsik menunjukan statusnya, tapi status itu dikonstitusi oleh sosial lewat assignment of function. Oleh karena itu, statusku sebagai pemain gitar dibebankan oleh bandku, dan karenanya aku dibebani fungsi, untuk mencapai tujuan bersama yaitu memainkan band. Sejauh ini kita bisa lihat bahwa collective intentionality menyebabkan collective assignment of function.
Bagi Searle semua fungsi itu tidak ditunjukan secara intrinsik oleh objek yang memilikinya, tapi diberikan oleh sosial sehingga setiap fungsi adalah observer relative. Tentu kita bisa pertanyakan argumennya ini, tapi ia tak terlalu ambil pusing dengan ini, ia hanya mengatakan bahwa gagasa tentang function terdiri dari komponen-komponen normatif yang tidak ada dalam gagasan tentang causes, dengan kata lain fungsi bukan hanya penyebab suatu tujuan tapi ia juga melayani tujuan itu agar tercapai.
Lebih lanjut, Searle berupaya untuk memberikan sebuah gagasan kunci untuk membedakan manusia dengan spesies yang lainnya. Bagi manusia, objek yang dibebankan padanya status function bukan karena struktur fisiknya, tapi karena adanya collective intentionality yang membebankan sebuah status tertentu sehingga objek yang disematkan status itu dapat menjalankan fungsinya yang mana fungsi tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya collective acceptance. Contoh kasus favorit Searle adalah uang, uang, tidak seperti pisau yang disematkan padanya fungsi untuk memotong karena struktur pisaunya yang menunjukan demikian, tidak secara mandiri menunjukan bahwa ia adalah alat tukar, tapi ia memiliki status sebagai alat tukar karena adanya collective acceptance. Sehingga disini, struktur fisik tidaklah relevan untuk menunjukan status fungsi dari sesuatu. Kasus yang menarik lagi adalah soal tembok pembatas Negara, pada awalnya tembok itu dibangun tinggi dan kokoh untuk menjaga setiap individu dari masig-masing masyarakat tetap didalam wilayahnya, dari sini kita tahu ada relevansi antara struktur fisik dan status function. Sekarang bayangkan jika waktu telah berlalu dan yang tersisa adalah puing-puing rapuh dari tembok itu, tapi karena adanya collective acceptance bahwa tembok itu memiliki fungsi untuk membatasi mereka, status function itu masih dimiliki oleh tembok pembatas tersebut, dari sini kita bisa lihat bahwa struktur fisik tidak lagi relevan bagi status function yang diterima ada dimiliki oleh tembok itu. Dari sini kita dapat pengetahuan soal apa yang membedakan antara human society dengan spesies lainnya, yaitu adanya penciptaan status function yang tidak lebih adalah hasil dari karya dan kekuatan institusi. Adanya fakta-fakta institusional yang membedakan realitas sosial manusia dengan realitas sosial lainnya.
Karena human society tidak dapat terlepas dari penciptaan status function, maka assignment of function sebagai penyematnya telah menjadi reguler dan karenannya menjadi aturan konstitutif yang berlaku, ia telah menjadi constitutive rules and procedures. Disini Searle mencoba untuk memberikan rumusannya, baginya rumus assignment of function yaitu X counts as Y in context C. Sesuatu sedemikian rupa dianggap sebagai uang bernilai seribu rupiah di Indonesia, Obama dianggap sebagai presiden Amerika Serikat, inilah contoh dari adanya sesuatu yang sedemikian rupa dianggap memiliki status dalam suatu kontek tertentu. Lebih jauh, untuk menjamin dengan formula ini dapat dibedakan realitas sosial manusia dengan spesies lainnya, Searle mengatakan bahwa rumusannya ini dapat berkembang lebih tinggi levelnya, artinnya kita tidak hanya memiliki satu fakta institusional tapi kita punya satu seri fakta-fakta institusional yang saling menjaga satu sama lain.
Apa pentingnya itu semua? Apa pentingnya status fungsi itu? status fungsi adalah motor yang menggerakan kekuatan sosial, karena dengan menerima status fungsi itu kita menerima serangkaian obligasi, hak-hak, tanggungjawab, dan hal lainnya, ini yang kemudian disebut sebagai deontic power. Bagi spesies selain manusia, tak dapat ditemukan adanya deontic power. Tapi apa pentingnya deontic power itu? deontic power ini memberikan alasan bagi manusia untuk berperilaku dalam sosial, untuk mengenal mana yang namanya kewajiban, hak, otoritasi, dan semacamnya. Sekilas kita bisa lihat bahwa ada teori etika deontology I. kant disini, tapi untuk mempertanyakan orisinilitas argumennya Searle bukan bahasan yang penting, karena poin pentingnya adalah bahwa dalam human society dapat ditemukan struktur deontis yang memungkinkan adanya desire-independent reasons untuk berperilaku. Ini lah yang tidak ditemukan dalam kerajaan hewan, dimana hewan tidak memiliki deontology.

Jadi mari kita ringkaskan, bahwa adanya status function, deontic power, dan desire-independent reason untuk berperilaku adalah elemen-elemen yang membedakan realitas sosial kita dengan spesies lainnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar