Bagi penulis, membahas tuhan sama
saja dengan membahas suatu omong kosong. Pembahasan mengenai sesuatu yang entah
berantah ini hanya akan menimbulkan banyak pertikaian yang tidak ada habisnya.
Membahas tuhan hanya seperti membahas makanan yang sudah kadaluarsa, tidak
layak dinikmati dan lebih pantas untuk dibuang. Dan bila memaksa untuk
menikmatinya, hasilnya, maka kita akan sakit. Sebelum membahas lebih jauh, perlu
ditekankan bahwa dalam penulisan ini, penulis hanya akan membahas “tuhan serta
kaitannya terhadap manusia” saja, tidak ada agama, ataupun wali-walinya seperti
malaikat, nabi dan para-para tokoh fiktif lainnya.
Bagian pertama, dibagian pertama ini
penulis hanya ingin menyampaikan sedikit pemikiran mengenai tuhan dari salah
satu fisuf Jerman bernama Nietzsche. Hanya pembahasan singkat mengenai slogan
yang cukup dikenal dari dirinya yaitu “tuhan sudah mati”. Perlu sedikit
meluruskan disini, bahwa kata-kata Nietzche yang menyatakan bahwa tuhan sudah
mati bukanlah suatu kata-kata yang cukup buruk. Singkatnya, hal ini dikarenakan
Nietzsche melihat para pendeta pada masa itu melakukan ceramah bukan karena
kehendak diri mereka atas tuhan, tetapi karena mereka dibayar, sekaligus
sebagai pencitraan public. Orang-orang tidak lagi beribadah karena tuhan,
tetapi karena untung rugi dan factor lainnya. Maka, anggapan bahwa tuhan sudah
mati dari Nietzche itu tidaklah sepenuhnya salah.
Bagian kedua, sejarah tuhan dalam
kehidupan manusia. Berbicara mengenai sejarah tuhan itu sama saja dengan
berbicara sejarah manusia. Entitas yang disebut manusia ini tidak berjauhan
munculnya dengan delusi yang disebut tuhan ini. Keduanya sama-sama tua. Willhelm
Schimdt dalam bukunya “The Origin of The Idea of God (1912)” mengutarakan bahwa
pada awalnya manusia primitive di Afrika menciptakan satu tuhan yang merupakan
penguasa bagi langit dan bumi, sekaligus penyebab pertama dari segala sesuatu.
Pemikiran kuno ini lahir jauh sebelum adanya pemikiran tentang dewa-dewi muncul
dalam kepala manusia, dan tentu sebelum ilmu pengetahuan dan filsafat muncul.
Dimulai dari sejak saat itu, manusia mulai mencari mengenai tuhan.
Proses mengenai pencarian akan tuhan
ini malah memunculkan suatu pertanyaan kritis yang cukup fenomenal,: “manusia
yang menciptakan tuhan? Atau tuhan yang menciptakan manusia?”. Kesadaran
manusia akan kelemahan dirinya sendiri memunculkan suatu konsep baru dalam
dirinya, suatu konstruksi yang terus menerus disempurnakan, memberikan
sifat-sifat yang diharapkan oleh manusia sendiri kepada sosok delusi itu,
hingga sosok tersebut menjadi eksis. Terlihat jelas bahwa dari sini kita tahu
bawha sebenarnya kita sendirilah yang membuat tuhan, tuhan hanya sebagai tempat
pemuas kebutuhan manusia akan hal-hal tertentu. Namun dilain sisi justru hal
ini memberikan jawaban lain bahwa tuhan dengan segala kemampuannya yang tidak
dapat dijelaskan ini merupakan pembuat dari semua hal, termasuk manusia itu
sendiri.
Bagian ketiga, dibagian ini penulis
akan menyampaikan beberapa pendapat mengenai pembahasan ini. Seperti yang telah
penulis katakana diawal, membahas tuhan sama saja dengan membahas suatu omong
kosong. Percayalah, ini hanya akan membuang-buang waktu. Tuhan, Dewa, God,
Allah, Yahwe, Elohim, Elah, dan berbagai macam sebutan lainya. Siapa yang
membuat semua sebutan ini? Siapa yang mengartikan semua sebutan ini? Siapa yang
terus membicarakan sebutan ini? Siapa yang berdebat mengenai sebutan ini? Siapa
yang berkonflik hingga perang hanya karena sebutan ini? Dan siapa yang dengan
bodohnya memohon, meminta bantuan, berdoa, mengharapkan, memuji, membela,
memuja, serta mati hanya demi sebutan ini? Tidak perlu munafik, bersembunyi dan
mencari-cari jawaban lain, tentu saja jawabanya sudah sangat jelas.
Entitas yang disebut manusia ini
sebenarnya secara alamiah adalah mahluk yang memiliki kecendrungan untuk
percaya akan sesuatu. Sederhanannya seperti ini, manusia memiliki semacam
“Belife Engine” yang tertanam pada otaknya. Suatu kecendrungan untuk membuat
pola atau makna akan sesuatu. Kita cenderung menghubungkan titik A dengan titik
B, menghubungkan event satu dengan event lainnya, menghubungkan sebab dan
akibat. Inilah yang disebut dengan “association learning”. Dan manusia, salah
satu “advance pattern-seeking animal” yang sangat pintar dalam hal ini. Pintar
dalam mencari makna atau pola, bahkan dari sebuah informasi acak yang tidak
memiliki pola sekalipun.
Terlebih
lagi, entitas yang disebut manusia ini mudah sekali terpengaruh dengan sesuatu
yang menarik perhatian. Ini bukan masalah benar atau sala, ini hanya soal
kenyamanan saja. Ketika entitas ini berhadapan atau mendapatkan suatu
informasi, akan lebih cepat dan mudah untuk percaya, karena itu nyaman baginya.
Ketimbang harus skeptis terhadap sesuatu itu, skeptis hanyalah seperti sesuatu
yang merusak kesenangan dari kenyamanan tersebut, sifatnya yang merusak pola
dan mempertanyakan kembali informasi inilah yang membuat entitas disebut
manusia ini kurang meminatinya.
Terlebih
lagi untuk tambaha, entitas yang disebut manusia ini sebenarnya merupakan
mahluk yang cukup lemah dan menyedihkan, terlahir dengan banyak penderitaan dan
rasa sakit membuat mereka untuk mencari-cari cara agar dapat menemukan sesuatu
yang lebih kuat dari dirinya. Sebagai tempat bersandar, tempat memohon, tempat
berlindung, serta melampiaskan semua rasa dan keinginan kepada sesuatu itu,
hingga dirinya merasa nyaman dan aman. Entah apa sesuatu itu, mereka sendiri
tidak mengetahuinya, dimana sesuatu itu, mereka sendiri tidak mengetahuinya,
bahkan ada atau tidakpun sesuatu itu, sebagian dari mereka bahkan tidak
mengetahuinya sama sekali.
Sebagai
penutup dari penulis sendiri, mengakui bahwa entitas ini lemah memang tidak
dapat dihindari kenyataanya. Namun bukan berarti ini mengartikan untuk terus
menjadi lemah dan menerima keadaan, entitas ini sebenarnya dapat menjadi kuat
dengan kemampuannya sendiri. Alih-alih mengatakan bahwa diri mereka kuat karena
ada tuhan adalah pembuktian bahwa mereka tetap lemah dan tidak berkembang,
menjadikan manusia terlalu manja terhadap delusinya sendiri. Justru karena
memang mereka itu terlahir dengan penderitaan dan rasa sakit, hal itulah yang
membuat merekaa menjadi kuat, manusia sejatinya dapat kuat denga kemampuannya
sendiri tanpa berpangku tangan dan bersandar kepada delusinya sendiri. Seperti
yang telah penulis katakana di awal, tuhan sama seperti makanan kadaluarsa,
anda lapar, dan anda butuh makanan saat itu, karena anda merasakan rasa sakit
tersebut, anda menjadi lemah dan merasa tak berdaya, akirnya anda memakannya,
terasa enak dan dapat menyembuhkan lapar memang, tetapi itu hanya sementara
yang akhirnya memaksa anda untuk memakan kembali makanan itu dan berpikiran bahwa makanan itulah yang
membuat anda sehat dan tidak memakannya adalah yang membuat anda sakit, padahal
makanan tersebut adalah penyebab dari sakit berkepanjangan itu.
Sedikit
spekulasi dari penulis, tidak penting ada atau tidaknya entitas tuhan untuk
dunia ini. Meskipun sekarang konsep tuhan sudah semakin menyebar dan anggapan
tentang tuhan sudah mati menjadi slogan yang menarik. Namun, bagaimanapun,
tuhan tidak akan pernah mati, karena konsep mengenai “tuhan” telah kita bicarakan,
ketika kita sebut tuhan mati, maka secara tidak langsung kita telah
menghidupkan tuhan tersebut dengan membicarakannya terus-menerus. Namun
selintas terpikirkan hal menarik dalam pikiran saya mengenai suatu pembicaraan,
suatu pembicaraan tidak akan selamanya dapat terus dibicarakan yang artinya
suatu pembicaraan dapat terlupakan. Maka dengan ini saya berspekulasi bahwa
slogan mengenai tuhan telah mati adalah keliru, tetapi suatu saat nanti, ketika
tuhan sudah mencapai tahap perbincangan yang maksimal, maka “tuhan akan
terlupakan”.
Anda
adalah unik, anda adalah tidak dapat dijelaskan, anda tidak dapat dimengerti,
anda tidak dapat dipahami, anda dapat membuat, dan anda dapat menghancurkannya
juga, maka anda adalah tuhan, bercerminlah dan anda akan melihat sosok tuhan. Tuhan
adalah eksistensi atas apa yang ada dihadapannya.
Referensi:
Levine,
Peter. Nietzsche and The Modern Crisis of the Humanities. Harper & Row
Publisher, New York, 1976.
Nietzsche,
Friedrich. Sabda Zarathustra. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Divisi
Kajian Badan Otonom Economica. Economica Papers Edisi 66. April 2014.