Kamis, 29 September 2016

apa itu kebebasan

Nama : Dimas Rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Eksistensialsm (Apa itu Kebebasan)
            Pada penulisan ini, penulis akan membahas problem kebebasan secara bertahap. Pertama, penulis akan menjelaskan pertanyaan utamanya, yaitu, apa itu kebebasan. Kedua, penulis akan menjelaskan eksistensi dari kebebasan ini. Dan yang terakhir, penulis juga akan menjelaskan mengenai pertanyaan, apakah kita (entitas yang disebut manusia) memiliki kebebasan. Tiga pertanyaan ini akan penulis coba jabarkan satu persatu.
            Kata kebebasan merupakan suatu idea mengenai konsep akan sesuatu yang tidak terikat dengan apapun serta dapat apapun. Idea mengenai kebebasan ini mulai dikenal atau dikonsumsi oleh entitas yang disebut manusia ketika mereka menyadari keterbatasan dan keterikatan mereka oleh dunia. Namun, dalam rana yang lebih ekstrem lagi, jika kita dapat memahami akan kebebasan yang murni, maka sejatinya kebebasan yang sesungguhnya adalah ketika kebebasan itu sendiri bebas. Suatu pemahaman yang tidak dapat tergambarkan, itulah kebebasan.
            Lanjut kepertanyaan kedua, apakah kebebasan itu termasuk sesuatu yang eksis. Jawaban terpastinya adalah iya. Kebebasan itu ada yang selalu hadir dalam setiap idea, yang artinya kebebasan itu akan melekat ketika suatu idea muncul. Contohnya, ketika kita menyebut bullpen, maka secara langsung kebasan telah siap dalam eksistensi bullpen tersebut, ada bullpen hitam, bullpen biru, dan yang lainnya. disini kita juga tidak hanya dapat meletakan bullpen pada benda bullpen, tetapi bullpen yang bukan sesuatu itu bullpen juga dapat muncul disana. Tentu yang dimaksud disini bukanlah kebebasan yang murni, tetapi kebebasan yang telah hadir melekat dalam idea, yang artinya adalah kebebasan yang telah tergambarkan. Karena seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa kebebasan yang murni itu tidak dapat tergambarkan, yang artinya idea, eksistensi dan esensi juga tidak dapat masuk maupun hadir dalam kebebasan yang murni tersebut.

            Lalu di pembahasan terkahir mengenai, apakah entitas yang disebut manusia memiliki kebebasan. Jawaban paling pastinya adalah tidak. Manusia tidak memiliki kebebasan dikarenakan fisik adalah suatu keterbatasan. Manusia mungkin dapat merasa bahwa apa yang ia lakukan dan apa yang ia inginkan adalah kehendak murni dari dirinya, namun itu keliru. Semua itu adalah rangkaian dari sebab dan akibat yang terus bereaksi. Anda dapat menentukan untuk makan apa hari ini, yang mana tanpa anda sadari keputusan akan makan sesuatu dihari ini adalah sebab dan akibat dari sesuatu yang lampau. Maka sebenarnya entitas dari apa yang disebut oleh manusia ini telah memiliki hasil yang definite dari semua tindakannya, namun ketidak mampuannya dalam mengkalkulasi itu semualah yang membuat mereka keliru. Bahkan konsep mengenai adanya probabilitas merupakan bukti kebelumampuan mereka dalam menyikapi sebab akibat, sehingga kebebasan yang merupakan ilusi untuk mereka itu dapat dirasakan seakan-akan nyata.

Rabu, 11 Mei 2016

Tuhan is Bullshit

            Bagi penulis, membahas tuhan sama saja dengan membahas suatu omong kosong. Pembahasan mengenai sesuatu yang entah berantah ini hanya akan menimbulkan banyak pertikaian yang tidak ada habisnya. Membahas tuhan hanya seperti membahas makanan yang sudah kadaluarsa, tidak layak dinikmati dan lebih pantas untuk dibuang. Dan bila memaksa untuk menikmatinya, hasilnya, maka kita akan sakit. Sebelum membahas lebih jauh, perlu ditekankan bahwa dalam penulisan ini, penulis hanya akan membahas “tuhan serta kaitannya terhadap manusia” saja, tidak ada agama, ataupun wali-walinya seperti malaikat, nabi dan para-para tokoh fiktif lainnya.
            Bagian pertama, dibagian pertama ini penulis hanya ingin menyampaikan sedikit pemikiran mengenai tuhan dari salah satu fisuf Jerman bernama Nietzsche. Hanya pembahasan singkat mengenai slogan yang cukup dikenal dari dirinya yaitu “tuhan sudah mati”. Perlu sedikit meluruskan disini, bahwa kata-kata Nietzche yang menyatakan bahwa tuhan sudah mati bukanlah suatu kata-kata yang cukup buruk. Singkatnya, hal ini dikarenakan Nietzsche melihat para pendeta pada masa itu melakukan ceramah bukan karena kehendak diri mereka atas tuhan, tetapi karena mereka dibayar, sekaligus sebagai pencitraan public. Orang-orang tidak lagi beribadah karena tuhan, tetapi karena untung rugi dan factor lainnya. Maka, anggapan bahwa tuhan sudah mati dari Nietzche itu tidaklah sepenuhnya salah.   
            Bagian kedua, sejarah tuhan dalam kehidupan manusia. Berbicara mengenai sejarah tuhan itu sama saja dengan berbicara sejarah manusia. Entitas yang disebut manusia ini tidak berjauhan munculnya dengan delusi yang disebut tuhan ini. Keduanya sama-sama tua. Willhelm Schimdt dalam bukunya “The Origin of The Idea of God (1912)” mengutarakan bahwa pada awalnya manusia primitive di Afrika menciptakan satu tuhan yang merupakan penguasa bagi langit dan bumi, sekaligus penyebab pertama dari segala sesuatu. Pemikiran kuno ini lahir jauh sebelum adanya pemikiran tentang dewa-dewi muncul dalam kepala manusia, dan tentu sebelum ilmu pengetahuan dan filsafat muncul. Dimulai dari sejak saat itu, manusia mulai mencari mengenai tuhan.
            Proses mengenai pencarian akan tuhan ini malah memunculkan suatu pertanyaan kritis yang cukup fenomenal,: “manusia yang menciptakan tuhan? Atau tuhan yang menciptakan manusia?”. Kesadaran manusia akan kelemahan dirinya sendiri memunculkan suatu konsep baru dalam dirinya, suatu konstruksi yang terus menerus disempurnakan, memberikan sifat-sifat yang diharapkan oleh manusia sendiri kepada sosok delusi itu, hingga sosok tersebut menjadi eksis. Terlihat jelas bahwa dari sini kita tahu bawha sebenarnya kita sendirilah yang membuat tuhan, tuhan hanya sebagai tempat pemuas kebutuhan manusia akan hal-hal tertentu. Namun dilain sisi justru hal ini memberikan jawaban lain bahwa tuhan dengan segala kemampuannya yang tidak dapat dijelaskan ini merupakan pembuat dari semua hal, termasuk manusia itu sendiri.
            Bagian ketiga, dibagian ini penulis akan menyampaikan beberapa pendapat mengenai pembahasan ini. Seperti yang telah penulis katakana diawal, membahas tuhan sama saja dengan membahas suatu omong kosong. Percayalah, ini hanya akan membuang-buang waktu. Tuhan, Dewa, God, Allah, Yahwe, Elohim, Elah, dan berbagai macam sebutan lainya. Siapa yang membuat semua sebutan ini? Siapa yang mengartikan semua sebutan ini? Siapa yang terus membicarakan sebutan ini? Siapa yang berdebat mengenai sebutan ini? Siapa yang berkonflik hingga perang hanya karena sebutan ini? Dan siapa yang dengan bodohnya memohon, meminta bantuan, berdoa, mengharapkan, memuji, membela, memuja, serta mati hanya demi sebutan ini? Tidak perlu munafik, bersembunyi dan mencari-cari jawaban lain, tentu saja jawabanya sudah sangat jelas.
              Entitas yang disebut manusia ini sebenarnya secara alamiah adalah mahluk yang memiliki kecendrungan untuk percaya akan sesuatu. Sederhanannya seperti ini, manusia memiliki semacam “Belife Engine” yang tertanam pada otaknya. Suatu kecendrungan untuk membuat pola atau makna akan sesuatu. Kita cenderung menghubungkan titik A dengan titik B, menghubungkan event satu dengan event lainnya, menghubungkan sebab dan akibat. Inilah yang disebut dengan “association learning”. Dan manusia, salah satu “advance pattern-seeking animal” yang sangat pintar dalam hal ini. Pintar dalam mencari makna atau pola, bahkan dari sebuah informasi acak yang tidak memiliki pola sekalipun.
            Terlebih lagi, entitas yang disebut manusia ini mudah sekali terpengaruh dengan sesuatu yang menarik perhatian. Ini bukan masalah benar atau sala, ini hanya soal kenyamanan saja. Ketika entitas ini berhadapan atau mendapatkan suatu informasi, akan lebih cepat dan mudah untuk percaya, karena itu nyaman baginya. Ketimbang harus skeptis terhadap sesuatu itu, skeptis hanyalah seperti sesuatu yang merusak kesenangan dari kenyamanan tersebut, sifatnya yang merusak pola dan mempertanyakan kembali informasi inilah yang membuat entitas disebut manusia ini  kurang meminatinya.
            Terlebih lagi untuk tambaha, entitas yang disebut manusia ini sebenarnya merupakan mahluk yang cukup lemah dan menyedihkan, terlahir dengan banyak penderitaan dan rasa sakit membuat mereka untuk mencari-cari cara agar dapat menemukan sesuatu yang lebih kuat dari dirinya. Sebagai tempat bersandar, tempat memohon, tempat berlindung, serta melampiaskan semua rasa dan keinginan kepada sesuatu itu, hingga dirinya merasa nyaman dan aman. Entah apa sesuatu itu, mereka sendiri tidak mengetahuinya, dimana sesuatu itu, mereka sendiri tidak mengetahuinya, bahkan ada atau tidakpun sesuatu itu, sebagian dari mereka bahkan tidak mengetahuinya sama sekali.
            Sebagai penutup dari penulis sendiri, mengakui bahwa entitas ini lemah memang tidak dapat dihindari kenyataanya. Namun bukan berarti ini mengartikan untuk terus menjadi lemah dan menerima keadaan, entitas ini sebenarnya dapat menjadi kuat dengan kemampuannya sendiri. Alih-alih mengatakan bahwa diri mereka kuat karena ada tuhan adalah pembuktian bahwa mereka tetap lemah dan tidak berkembang, menjadikan manusia terlalu manja terhadap delusinya sendiri. Justru karena memang mereka itu terlahir dengan penderitaan dan rasa sakit, hal itulah yang membuat merekaa menjadi kuat, manusia sejatinya dapat kuat denga kemampuannya sendiri tanpa berpangku tangan dan bersandar kepada delusinya sendiri. Seperti yang telah penulis katakana di awal, tuhan sama seperti makanan kadaluarsa, anda lapar, dan anda butuh makanan saat itu, karena anda merasakan rasa sakit tersebut, anda menjadi lemah dan merasa tak berdaya, akirnya anda memakannya, terasa enak dan dapat menyembuhkan lapar memang, tetapi itu hanya sementara yang akhirnya memaksa anda untuk memakan kembali makanan itu  dan berpikiran bahwa makanan itulah yang membuat anda sehat dan tidak memakannya adalah yang membuat anda sakit, padahal makanan tersebut adalah penyebab dari sakit berkepanjangan itu.
            Sedikit spekulasi dari penulis, tidak penting ada atau tidaknya entitas tuhan untuk dunia ini. Meskipun sekarang konsep tuhan sudah semakin menyebar dan anggapan tentang tuhan sudah mati menjadi slogan yang menarik. Namun, bagaimanapun, tuhan tidak akan pernah mati, karena konsep mengenai “tuhan” telah kita bicarakan, ketika kita sebut tuhan mati, maka secara tidak langsung kita telah menghidupkan tuhan tersebut dengan membicarakannya terus-menerus. Namun selintas terpikirkan hal menarik dalam pikiran saya mengenai suatu pembicaraan, suatu pembicaraan tidak akan selamanya dapat terus dibicarakan yang artinya suatu pembicaraan dapat terlupakan. Maka dengan ini saya berspekulasi bahwa slogan mengenai tuhan telah mati adalah keliru, tetapi suatu saat nanti, ketika tuhan sudah mencapai tahap perbincangan yang maksimal, maka “tuhan akan terlupakan”.
            Anda adalah unik, anda adalah tidak dapat dijelaskan, anda tidak dapat dimengerti, anda tidak dapat dipahami, anda dapat membuat, dan anda dapat menghancurkannya juga, maka anda adalah tuhan, bercerminlah dan anda akan melihat sosok tuhan. Tuhan adalah eksistensi atas apa yang ada dihadapannya.

Referensi:
Levine, Peter. Nietzsche and The Modern Crisis of the Humanities. Harper & Row Publisher, New York, 1976.
Nietzsche, Friedrich. Sabda Zarathustra. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Divisi Kajian Badan Otonom Economica. Economica Papers Edisi 66. April 2014.


Kamis, 03 Maret 2016

Pembahasan Singkat Manusia dan Agama

Nama : Dimas Rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Filsafat Manusia (Penting atau Tidaknya Sistem Agama Bagi Kehidupan Manusia?)

            Bicara tentang manusia dan agama adalah suatu hal sepertinya sudah sangat biasa kita dengar dan perbincangkan dilingkup social. Beberapa orang memiliki cara pandang meeka sendiri mengenai manusia, tentu mayoritas pasti menggunakan pemikiran dasarnya berupa agama. Namun apakah sebenarnya agama itu? Mayoritas beberapa orang selalu menggunakan tolak ukur dari institusi ini (agama masing-masing), yang dimana ini menjadi perdebatan yang cukup membingungkan tentang siapa sebenarnya manusia dan bagaimana perannya dalam kehidupan. Apakah agama segitu pentingnya terhadap manusia? Apakah agama memiliki peran yang tidak bisa ditolak oleh manusia? Dan apa yang membuat manusia begitu perlu dengan agama?. Maka pada pembahasan kali ini, jika menggunakan dari pola pikir penulis, maka sebaiknya kita mundur terlebih dahulu ke sejarahnya, tentang manusia dan bagaimana munculnya agama.
            Manusia, pada dasarnya adalah satu entitas dari semuanya, namun memiliki beragam eksistensi. Mahluk ini memiliki rasa perotes dan berontak yang luar biasa, namun ingin diam dan damai, yang mana penulis tahu kalau itu salah satu bentuk dari paradoksnya. Mahluk ini mengakui bentuk wujudnya disebut manusia adalah pertama kali pada sekitar 200.000 tahun yang lalu di benua Afrika. Singkatnya manusia pada saat itu, tanpa mereka sadari atau tidak, perlahan mulai mengembangkan komunikasi. Komunikasi ini tidak hanya sebatas antara kaum mereka, tetapi juga terjadi antara diri mereka ke realitas dan ke diri mereka sendiri.
            Pada masa perkembangan ini, rasa yang sekarang manusia sekarang sebut “bingung” mulai muncul. Ketidak tahuan mereka akan sesuatu mulai melatih dan mengembangkan daya imajinasi dari gambaran realitas. Perlahan-lahan informasi dari realitas yang mereka serap mulai disusun membentuk pola dalam pikirannya, dan  bentuk dari pola pemikiran pada saat inilah yang pada akhirnya menghasilkan berbagai macam keyakinan hingga berkembang sampai sekarang.
            Salah satu bentuk keyakinan yang populer dipegang teguh oleh mayoritas mahluk ini adalah keyakinan akan adanya sesuatu diluar dirinya yang luar biasa hebat dan sangat dipuja, sebut saja “tuhan”. Yang dimana sesuatu ini bahkan sebenarnya tidak dimengerti oleh mahluk ini, namun agar sesuatu ini tetap dipercaya dan eksistensi sang mahluk yang salah satunya senang menjadi pusat perhatian, maka mulai dikembangkanlah sesuatu ini menjadi narasi yang menarik.
            Singkatnya, beberapa efek dari sang pengembang narasi ini mulai mendapatkan perhatian khusus serta perlakuan. Misalnya, dianggap sebagai tangan kanan tuhan atau seseorang yang dipercaya sebagai pembawa pesan tuhan. Narasi dari sang pengembang inilah yang nantinya menyebar keseluruh penjuru bumi sampai dan bertemu dengan sang pengembang dan narasi-narasi lainnya yang nantinya narasi ini mengalami reduksi, perubahan, penambahan, intepretasi, dan lain-lain, atas dasar ketidak puasan atau ketidak cocokan dengan kondisi saat itu. Yang dimana beberapa bentuk dari narasi memiliki kemiripan tentang adanya dewa-dewa dan manusia-manusia pertama seperti, Adam dan Hawa, Adam dan Eva, Surt dan Ymir, Bor dan Bestla, Mashya dan Mashyanag, Apsu dan Tiamat, Shu dan Geb, dan lain-lain.
            Kepopuleran narasi ini terus berkembang dengan banyaknya para manusia yang datang dan pergi ke suatu tempat yang nantinya juga berakibat pada munculnya system keyakinan baru dan pada akhirnya membentuk berbagai macam institusi keyakinan seperti sekarang ini.
            Lalu dari sini penulis akan melanjutkan tentang beberapa pertanyaan diawal. Pada intinnya, bagi penulis, agama sebenarnya tidak begitu penting, tetapi perlu untuk beberapa kalangan mayoritas. Ketidak sanggupan mayoritas untuk menolak agama adalah karena mereka masih memiliki rasa takut, cemas, dan pola pikir yang turun temurun di doktrin dengan narasi tersebut. Perlunya instusi keyakinan ini adalah untuk menata yang mayoritas ini agar memiliki arah atau panutan sehingga mengurangi tindak kekacauan dalam realitas.
            Namun dari penulis sendiri, secara pribadi sebenarnya tidak lagi membutuhkan institusi tersebut. Hal ini dikarenakan penulis telah sanggup untuk menerima semua bentuk realitas tanpa adanya delusi. Penulis percaya bahwa yang membentuk dirinya adalah dirinya sendiri, keberadaan dirinya adalah keterimaan dirinya terhadap realitas akan dirinya sendiri. Semua tindakan, pilihan, serta berbagai macam bentuk lainnya merupakan hasil dari dirinya sendiri yang mengetahui adanya realitas sebagaimana adanya, resiko akan tindakan, harga yang harus dibayar atau pertukatan setara, dan lain-lainnya. Sehingga pada akhirnya penulis tidak lagi terperangkap dalam delusi tentang apa yang disebut tuhan, dosa, surga, neraka dan lain-lain.
           

Referensi :
Buku “siapakah manusia” dari Louis leahy

Bahan bacaan kuliah filsafat manusia

Pembahasan Singkat Mengenai Etika Tanah

Nama : Dimas Rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Filsafat Lingkungan (Pembahasan Etika Tanah)

            Sebenarnya membahas tentang etika tanah dari cara pandang atau pemikiran Aldo Leopod adalah tentang bagaimana kita dapat memberika suatu tindakan etis kepada tanah (alam). Jika selama ini tanah hanya dianggap sebagai suatu komoditas yang siap pakai oleh banyak manusia, maka hal tersebut dianggap sebagai cara berpikir yang dangkal.
Hal tersbut dianalogikan seperti Oydisseus yang memiliki banyak budak wanita siap pakai dan selalu melayani kehendaknya. Dan bila salah satu dari budak ini melakukan kesalahan maka budak ini akan dihukum semaunya layaknya barang.
Point penting dari pembahasan ini adalah munculnya pertanyaan yang masih membuat saya bingung untuk menjawabnya. Jika dilihat dari cerita Oydisseus ini, sebenarnya kurang tepat jika dijadikan sebagai analogi untuk membahas tanah. Jika kita ingin memberika suatu nilai etis kepada seorang budak misalkan, tentu kita dapat mengerti nilai dari tindakan tersebut melihat sang penerima tindakan akan memberikan efek balik ke pemberi yaitu ekspresi, emosi, serta tindakan memberontak misalnya. Namun jika kita lihat penerima dari nilai etis itu adalah suatu intensitas tanpa kesadara yang bahkan kita tidak tahu bentuk dari ekspersi yang dia berikan ketika kita mempergunakannya, maka apa gunanya?
Jika kita menganggap bahwa tanah (Alam) adalah suatu bagian dari diri manusia karena manusia itu sendiri adalah bagian dari alam, dan tindaknya adalah dengan meperlakukan tanah tidak sebagai suatu barang atau komoditas, tetapi lebih menganggap bahwa tanah adalah sebuah kesatuan dengan manusia (komunitas biotik). Argumennya dari Leopod adalah ‘’apa yang kita perbuat ke tanah (alam) juga akan memiliki dampak kepada manusia’’. Sederhanannya, dia ingin bahwa etika tidak hanya berurusan dengan apa yang memiliki kesadaran saja, tetapi etika juga harus mengalami evolusi yang lebih luas, sehingga tanah (alam) tidak lagi sekedar diperlakukan sebagai suatu barang yang diperebutkan hak kepemilikannya.
Jika dari argument penulis sendiri mengenai pembahasan tanah ini, penulis merasa adanya suatu pemikiran yang lebih baik untuk menanggapi persoalan etis antara manusia dengan tanah. Tanah merupakan suatu bentukan ketersediaan yang apa adanya, salah satu spesies yang dapat dikatakan mendominasi di atas permukaan tanah adalah manusia, telah melakukan banyak hal setelah kemunculannya. Mulai dari tempat tinggal, peradaban, kebudayaan, hingga menjadi persoalan politik dan ekonomi, tanah telah setia mengikuti semua perjalanan itu.
Cara pandang penulis dalam menanggapi pembahasan ini adalah tentang kontekstualitas, mengingat bahwa etika adalah suatu bidang yang berurusan dengan nilai dan tindakan berdasarkan konteks situasi dalam suatu ruang lingkup. Menanggapi persoalan tanah, seharusnya manusia sebagai suatu spesies yang cukup mendominasi tanah dapat mengerti mempergunakan tanah dalam konteks kebutuhan seperlunya, bukan property yang berlebihan. Tanah adalah sebaik-baiknya tindakan si manusia itu sendiri. Jika selama ini si manusia selalu menganggap bahwa apa yang terjadi kepada tanah merupakan factor geologi, geografi, serta cara pandang yang menganggap bahwa tanah adalah kaku dan dapat dijelaskan secara teori, maka pada dasarnya pembentukan tanah yang bergeser atau berubah merupakan suatu bentuk pemberontakkan. Tanah memberikan suatu gambaran ekspresi tidak dengan suatu cara langsung yang dapat dipahami, namun lebih dalam bentuk suatu kekakuan lambat yang setiap gerakannya dapat dijelaskan setelah dipelajari oleh manusia, tanpa disadari pada dasarnya manusia ataupun spesies lainnya merupakan dasar dari efek panjang yang akhirnya diberikan kepada spesies itu sendiri di permukaan.