Kamis, 23 Oktober 2014

Bundle Theory dan Subtance Theory -_-'' (siapa yang membentuk identitas kita? diri kita sendiri atau komunitas?)


Sebelum masuk ke dalam penjelasan pendapat saya mengenai apa maksud dari kedua teori ini, sebaiknya kita bahas dulu satu persatu mengenai kedua teori ini. Dari sumber lain, Pertama apa yang dimaksud dengan Subtance Theory terlebih dahulu. Teori ini pernah di gagas oleh Aristoteles, gagasan Aristoteles tentang substansi adalah hal yang krusial dalam metafisikanya, namun juga menjadi rumit karena pada faktanya ia menggunakan kata yang sama untuk beberapahal yang tidak mempunyai relasi sama sekali. Kata dalam bahasa Yunani yang biasanya diterjemahkan menjadi substansi(substance) ialah “ouisa”, sebuah kata yang masuk dalam kategori “to be”. Cukup masuk akal memang jika diterjemahkan sebagai “realitas” atau “real being” walaupun begitu terjemahan tradisionalnya yang adalah “substansi” merupakan yang masih sering digunakan. Sedangkan Teori Bundle pernah dijelaskan oleh David Hume, dia menjelaskan bahwa "diri" hanyalah seikat persepsi yang saling dihubungkan oleh milik keteguhan dan koherensi atau lebih tepatnya bahwa ide tentang diri hanya gagasan seperti sebuah kemasan. Dia menganggap bahwa persepsi adalah subtansi dunia. Tetapi dia mempertanyakan ada yang salah dalam subtansi yang biasa. Objek Hume dalam pendapatnya bahwa sesuatu yang biasa dapat disebut subtansi, bahkan dengan pengindraan yang sederhana itu adalah sesuatu yang eksis dan tidak terikat. Ini sama ketika kita mengetahui dengan mempersepsi adalah objek langsung dalam pikiran.
Saya sebenarnya kurang begitu paham dengan kedua teori tersebut, saya kekurang informasi mengenai teori tersebut. Mungkin lain kali bisa dicari dari info lain. namun simpelnya dari teori itu adalah semacam teori untuk menjelaskan siapa yang membentuk identitas kita, diri kita sendiri atau komunitas? Sebangin banyak orang yang pernah saya tanya tentang pertanyaan itu menjawab kalau yang membenuk diri kita adalah komunitas. Mereka merasa orang lainlah yang paling berpengaruh dalam membentuk diri kita, seperti keluarga dan lingkugan. Dan sebagian lainya menjawab bahwa yang membentuknya adalah keduanya, diri kita sendiri dan juga orang lain. Mereka merasa bahwa mungkin memang manusia punya ciri alamiah dari kelahirannya atau malah sifat bawaan yang langsung dimiliki ketika lahir namun kembali lagi kalo yang mebentuk itu semua tetaplah pihak luar. Contoh dasar dan simpelnya seperti ini, saya lahir dari kedua orang tua, yang membuat saya adalah kedua orang tua, sifat saya adalah gabungan dari kedua orang tua, wajah atau fisik saya adalah gabungan bentuk dari kedua orang tua, suara, perasaa, cara berpikir, gaya bicara, bahkan hampir semua nama yang diberikan ketika lahir itu berasal dari orang tua. Dengan begitu sudah dipastikan bahwa yang membentuk identitas diri kita adalah pihak luar atau komunitas. Begitu kira-kira penjelasan dari mereka.
Tapi menurut saya, pertama-tama kita harus kembali dulu kepada apa itu identitas? Identitas bagi saya hanyalah sebuah simbol, pembeda, pengkategorian, atau mungkin hanya sebagai penanda untuk membedakan satu dengan yang lainya. Tapi masalah siapa yang membentuk? Entrahlah, Siapa yang tau itu? Pada dasarnya kita semua tidak mempunyai identitas tapi tanpa disadari kita semua membentuk dan dibentuk. Kita semua adalah suatu keacakan alamiah, namun kita semua berusaha untuk membuat itu tersusun. Masalah siapa yang membentuk identitas saya? Ya bisa siapa saja, bisa saya sendiri dan bisa juga komunitas. Tidak peduli jika dasarnya itu adalah orang tua. Saya bisa saja keluar dari semua ciri-ciri yang dibuat oleh orang tua seperti operasi fisik, mengontrol sifat serta melakukan hal yang sangat bertentangan dengan sifat saya sebelumnya, tak lagi dikenali oleh orang yang dulu pernah mengenal saya, saya mengalami perubahan yang bukan hanya dari fisik tetapi juga dari segi mental. Tapi bukankah tetap saja ada pengaruh dari faktor luar walaupun sedikit atau tak terlihat yang membuat saya menjadi berbeda? Jawabannya tetap tidak peduli, terlepas dari siapapun yang membentuk itu. Siapa saya sebenarnya? Tidak ada yang tau, termasuk saya sendiri. Hakikat diri saya sendiri ya "saya" apa itu saya ya "tidak tau". Sedikit mengambil dari kata-kata Nietzsche, bahwan dunia ini adalah nihil, bahwa sesungguhnya dunia ini bukanlah suatu identitas yang pasti, dunia ini kosong, tidak memiliki nilai ataupun identitas, tetapi subjek-subjek didalamnyalah yang membuat pengkategorian itu semua.
Prinsip saya "Everything is Nothingness is Everything" segalanya adalah kekosongan yang merupakan segalanya, sedikit menjelaskan bahwa segala hal yang kita buat, kita lakukan, apapun itu merupakan suatu kekosongan dalam dunia yang memiliki segalanya.

Referensi:
Pemikiran Sendiri
diskusi bersama teman dan wawancara terhadap orang lain
ceramah dosen dikelas kuliah
www.academia.edu/.../Teks_Metafisika_Aristoteles_Substansi

Rabu, 22 Oktober 2014

ceritanya nih paper buat UTS -_-'


Filsafat Modern adalah salah satu mata kuliah dalam jurusan filsafat, mata kuliah ini membahas tentang pandangan, metode, teori, serta pemikiran para filsuf pada masa abad modern. Kali ini saya akan membahas secara ringkas tentang Subjektivitas, Pengetahuan, Negara dan Realitas dari beberapa filsuf pada masa itu. Pembahasan ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi ujian tengah semester.
·         Subjek oleh Rene Descartes
Rene Descartes adalah seorang filsuf, matematikawan  Perancis dan penulis. Dia dijuluki "Bapak Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern".  Rene Descartes lahir  31 Maret 1596 di Prancis dari sebuah keluarga borjuis. Ketika ia berusia satu tahun, ibunya Jeanne Brochard meninggal. Ayahnya Joachim adalah anggota dari Parlement of Brittany di Rennes, Parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun.
Teori subjek dari Descart adalah dualisme, dia menganggap bahwa mind dan body adalah dua hal yang berbeda, Descartes mengembangkan sebuah teori bahwa jiwa adalah imaterial, substansi non ekstensi yang terlibat dalam berbagai kegiatan seperti pemikiran rasional, khayalan, perasaan dan keinginan. Materi atau substansi ekstensi tunduk dalam hukum-hukum fisika dalam kerangka mekanistik dengan perkecualian tubuh manusia yang dipercaya. Descartes dipengaruhi oleh pikiran manusia dan mengakibatkan keadaan mental tertentu. Contohnya seperti tangan kita yang terpukul oleh palu pada jari menyebabkan rasa sakit di pikiran. Bagian dari teori Descartes yang bersifat dualistik inilah memunculkan permasalahan bagaimana interaksi sebab akibat diantara keduanya ini menjadi mungkin. Bagi Descart, dia mengklaim bahwa pikiran dan tubuh berinteraksi di glandula spienalis yang terletak di ruas tulang belakang.
·         Pengetahuan oleh Rene Decartes
Pada penjelasan pengetahuan, Menurut Rene Descartes pengetahuan adalah sesuatu yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua pengetahuan yang ada hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa ada tiga pengetahuan yang bisa diragukan, yaitu:
- Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Contohnya seperti kayu lurus yang dimasukkan ke dalam air maka akan kelihatan bengkok.
- Fakta umum tentang dunia seperti api itu panas dan benda yang berat akan jatuh.
- Prinsip-prinsip logika dan matematika. Ia menyatakan bagaimana jika ada seorang makhluk yang bisa memasukkan ilusi ke dalam pikiran kita, seperti di dunia matrix.
Menurut Decrates, eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya. Oleh karena itu tidak dapat diragukan lagi jika pikiran itu eksis. Sedangkan pikiran menurut Descartes adalah suatu benda berpikir yang bersifat mental, bukan bersifat fisik atau material.

·         Negara oleh Thomas Hobbes dan Jhon Locke
Thomas Hobbes adalah filsuf yang lahir di Inggris pada tahun 1588-1679. Dia adalah pemikir yang lahir pada masa perang. Dia memberikan sumbangan pemikiran yang sosial-politik. Ia menulis buku yang berjudul Leviathan yang menjelaskan pandangannya tentang kehidupan manusia didalam kodratnya yang bersifat "terpencil, miskin, kejam, dan memiliki sifat kebinatangan. Sedangkan Jhon Locke dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1632 di Wrington, Somerset. Adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan Empirisme. Locke menekankan pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.. Teori dari kedua tokoh ini mengasumsikan adanya keadaan alamiah yang terjadi sebelum manusia mengenal negara. Keadaan alamiah itu merupakan keadaan dimana manusia masih bebas, belum mengenal hukum dan masih memiliki hak asasi yang ada pada dirinya. Akan tetapi karena akibat pekembangan kehidupan yang menghasilkan kompleksitas kebutuhan maka manusia membutuhkan sebuah kehidupan bersama.  Dimana dibentuk berdasarkan perjanjian bersama untuk menyerahkan kedaulatan kepada sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan bersama tersebut.
Perbedaan antara Hobbes dan Locke adalah pada penyerahan hak dalam kontrak social. Menurut Hobbes masyarakat harus dengan mutlak menyerahkan seluruh haknya kepada pemerintah, sedangkan menurut Locke ada hak-hak yang tidak bisa diserahkan manusia kepada pemerintah yaitu life, liberty dan estate
·         Realitas oleh Jacques Rousseau.
Jean-Jacques Rousseau lahir 28 Juni 1712 di Jenewa, Swiss. Rousseau berpendapat bahwa manusia mempunyai keadaan alamiah atau keadaan asli dalam dirinya sebagai suatu individu yang bebas atau merdeka tanpa adanya suatu intervensi atau paksaan dari manapun. Meskipun manusia memiliki kebebasan tetapi mereka tidak menaklukkan sesamanya karena sifat alami manusia yang netral yaitu tidak baik dan tidak buruk.
Menurut Rousseau, manusia abad pencerahan sudah mengubah dirinya menjadi manusia rasional. manusia rasional hanya mementingkan factor material untuk memenuhi kebutuhan dirinya. factor-faktor non-materail berupa perasaan dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya bergerak menurut rasionya saja. Abad Pencerahan menurut Rousseau adalah abad pesimisme total. Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan dekadensi moral dan budaya .Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia, baik itu alam maupun manusianya sendiri. Oleh sebab itu, Rousseau berpikir bahwa manusia seharusnya kembali pada kehidupannya yang alamiah yang memiliki emosi dan perasaan untuk mencegah dan terhindar dari kehancuran total. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal dari aliran Romantisme yang berkembang di eropa.

Sumber:
Catatan Kuliah
Buku filsafat Ilmu (Dr. Akhyar Yusuf Lubis)
PPT Kuliah
Pemikiran Sendiri
http://kolom-biografi.blogspot.com

Rabu, 15 Oktober 2014

Teori universal moral imperatif Kant


Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme lewat pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. Ada salah suatu teori yang dibahas oleh Kant saat itu, yaitu sebuah teori moral imperatif. Moral diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif. Filsafat moral Kant menyatakan kesadaran moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah meskipun bukan obyek inderawi, namun membuka kenyataan bidang realitas adi inderawi. Sehingga satu-satunya cara untuk klaim moralitas atas keabsahan universal melalui subyek itu sendiri.
Kant mengembangkan prinsip etika dari paham akal budi praktis. Kant mengandaikan baik bukan hanya dari beberapa segi, tetapi baik secara mutlak. Menurut Kant, yang baik tanpa pembatasan sama sekali adalah kehendak baik. Kehendak baik selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya (otonom). Orang berkehendak baik karena menguntungkan, tergerak oleh perasaan belas kasih, memenuhi kewajiban demi kewajiban. Kehendak baik karena memenuhi kewajiban demi kewajiban disebut Kant sebagai moralitas. Pengukuran moralitas menurut Kant bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak membuktikan kehendak baik. Tetapi pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh kenyataan bahwa perbuatan itu kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan. Teori moralitas Kant disebut "Imperatif Kategoris".
Imperatif Kategoris adalah suatu panduan untuk menguji apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak. Suatu prinsip bisa dikatakan sebagai imperatif kategoris jika prinsip itu sudah melewati pengujian yang dilakukan imperatif kategoris. Kita harus mengandaikan bahwa prinsip atau maksud tindakan kita dapat dijadikan menjadi hukum universal sehingga semua orang dapat bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan demikian, kita harus mengandaikan bahwa prinsip yang dipakai  dapat digunakan sebagai hukum universal, bagi siapapun seolah olah tidak ada alternatif lain. Imperatif kategoris ini terlihat berseberangan dengan egoisme psikologis yang dimana teori ini menyatakan bahwa manusia selalu bertindak sesuai dengan kepentingan diri (self interest) dan tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan diri. Bahkan ketika tindakan itu ditujukan untuk orang lain, sebenarnya dilakukan untuk dirinya sendiri. Egoisme psikologis berusaha membantu manusia menyadari bahwa seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh kepentingan diri dia sendiri. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya terlepas dari kepentingan dirinya sendiri.
Bagi saya sendiri sebenarnya saya tidak terlalu peduli untuk setuju atau tidak mengenai pemikiran Kant, saya  bisa saja setuju namun saya bisa juga tidak. Tidak peduli nilai setuju atau tidaknya dengan suatu pandangan. Setiap orang punya pandangannya sendiri mengenai benar, salah, baik atau buruk. Tetapi yang penting adalah bagai mana diri kita menyikapi nilai tersebut kepada orang lain. Masalahnya bukan bagaimana orang lain bersikap kepada kita tetapi bagaimana diri kita sendiri untuk dapat menyikapi tindakan tersebut. Apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepada kita maka jangan lakukan itu kepada orang lain.