Disini kami yang
terdiri dari saya (Dimas Rizky Akbary), Adrian Bayuatmaja, Mutia Agroli, Adrian
Ray, Dianali Pitasari dan Naufal Syahrin Wibowo adalah suatu kelompok dalam
kelas Etika yang akan dibahas tentang tulisan Jonathan Bennett yang berjudul
"The Conscience of Huckleberry Finn". Dalam bukunya Bennet menyatakan
bahwa "Huck" mengalami pergolakan batin ketika dia membantu sang
budak yang bernama "Jim" melarikan diri, Huck tau bahwa apa yang dia
lakukan sebenarnya bertentangan dengan ajaran yang dia terima pada suatu waktu,
mengenai bahwa budak itu bukanlah manusia sehingga dia tidak pantas untuk di
tolong. Akan tetapi Huck tetap menolong Jim untuk melarikan diri karena merasa
kasihan terhadap "Jim".
Disini dibahas
juga mengenai tulisan Philip Hallie yang masih berkaitan juga dengan tulisan Jonathan
Bennett tentang tindakan "Heinrich Himmler". Perbedaannya adalah
Bennet lebih mekekankan kepada pergolakan batin yang terjadi di dalam diri
Himmler ketika dia ingin menyeleksi siapa saja yang akan disiksa atau dibunuh
pada hari itu. Sedangkan Hallie mengkritisi pemikiran Bennett bahwa seharusnya evil dilihat bukan dari pergolakan batin
sang pelaku melainkan dilihat dari perjuangan korban.
Selain itu di
sini kami juga akan membahas beberapa para filsuf lain yang terlibat dalam
pembahasan problem "Good and Evil" serta argumen-argumen mereka
mengenai etika dan moral seperti, Tzvetan Todorov, dan Anne Applebaum. Berikut adalah
penjelasan singkat kami mengenai pembahasan mereka.
·
"From
Cruelty to Goodness" Philip Hallie
Philip Hallie (1922-1994) adalah
seorang profesor filsafat di Universitas Wesleyan. Karya-karya yang doterbitkan
termasuk The Paradox of Cruelty (1969), Lest Innocent Blood be
Shed (1979), dan In The Eye of the Hurricane : Tales of good and evil, Help and
Harm (2001)
Dalam bagian ini
etika itu melibatkan aturan hukum dan cita-cita. Dalam hal ini mengikuti etika
negatif agar menjadi layak untuk memiliki suatu hal yang bersih, namun pada
dasarnya etika itu juga adalah sesuatu hal yang bersih. Etika juga berperan
sebagai penjaga yakni sebagai cara agar aktif dalam kehidupan.
ada yang dinamakan sebagai
paradox of cruelty (paradox kekejaman) menurut Philip hallie. Kekejaman sama dengan
perwujudan partikularatas evil bukan topic central dan evil bukanlah sama dengan
kekejaman. Mengapa lawan dari kekejaman itu bukan satu satunya kunci dari manusia
secara historis? .Kebebasan antara relasi antar kekejaman ini menunjukan kekuasaan
bukanlah pembahasan central dari filsif barat. Kabur dari kekejaman itu bukanlah
urusan yang negative. Lawan dari kekejaman itu bukanlah positif karena kebaikan
itu adalah hal yang positif bukan negative.
Berharap mencari kebenaran atas kebaikan
dalam evil yang sangat central. Dia memulainya melihat dari dekat yang
dinamakan ‘medical experiment” dari nazi Biasanya anak-anak yahudi dan gypsy
didalam camp kematian. Disini adanya yang paling lemah diantara yang lemah tidak
hanya mereka meremehkan minoritas melainkan mereka sebagai individu yang mash
belum berumur. Dia berusaha untuk membuat teori objektif, namun disaat itu juga dia memberikan jarak diantara
para korban maka dia juga sama-sama menjadi monster yang kejam karena dia tidak
bisa merasakan apa yang dirasakan para korban.
Pencarian dari kejahatan konkret kekebaikan
konkret. Apapun prinsip-prinsip moral mungkin berlaku untuk situasi partikular didalam
cara berjalan bertentangan kedorongan perasaan partikular didalam situasi tertentu.
Dia segera memperhatikan simpati dalam relasi antar bad morality.Tetapi bukan hanya
karena konflik semacam itu menjadikan morality itu buruk.
·
"The
Conscience of Huckleberry Finn" Jonathan Bennett
Jonathan Bennett (1930) adalah
Professor "Emeritus of philosophy" di Universitas Syracuse. Dia
adalah pengarang dari beberapa buku, termasuk Kant's Analytic (1966), Rationality:An Essay towards an Analysis
(1989), A philosophical guide to conditionals (2003)
Bennett
mempertimbangkan moral hati nurani dari Huckleberry Finn, Himmler dan Edwards.
Moralitas buruk adalah prinsip moralitas yang saya sangat tidak setujui. Rasa
belas kasihan terhadap seseorang mungkin akan membawa kita untuk membantu
seseorang tersebut. Sangat jelas perasaan can impel one to action and so can
moral judgement, dan dalam particular kasus belas kasihan(simpati) dan
moralitas mungkin menarik ke dalam arah/tujuan yang berlawanan. Huck Finn
membantu Jim temannya (budak) untuk melarikan diri dari Miss Watson majikannya,
Huck merasa kasihan kepada Jim karena manusia tidak selayaknya diperlakukan
seperti itu dan manusia tidak selayaknya dimiliki seperti hewan peliharaan
seperti itu, pada saat itu juga Huck memiliki kesempatan untuk mengembalikan
Jim kepada majikannya tetapi Huck tidak melakukan itu karena rasa simpatinya mengalahkan bad morality,
Huck tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apa yang ia yakini harus lakukan
(menyerahkan Jim kembali). Lalu Huck membiarkan Jim untuk kabur. Huck menderita
memikirkan apa yang sudah ia lakukan, ia berfikir “apa yang sudah Nyonya Watson
lakukan kepadaku?” sehingga ia tega membantu budaknya Nyonya Watson untuk
melarika diri, “ini karena aku tidak berfikir dengan jernih”. Huck hanya gagal
untuk melakukan sesuatu yang ia percayai untuk menajadi benar, ia tidak cukup
kuat. This passage in the novel is notable not just for its finely wrought
irony, with Huck’s weakness of will leading him to do the right thing, but also
for its masterly handling of the difference between general moral principles
and particular unreasoned emotional pulss.
Mempertimbangkan kasus lain dari
moralitas buruk dalam konflik belas kasihan manusia, kasus dari Himmler komandan
Nazi, yang setiap harinya harus menentukan siapa saja orang-orang yahudi yang
harus di eksekusi dan siapa saja yang masih bisa hidup untuk beberapa hari
kedepan dan Himmler melihat tugasnya akan menjadi berat untuk dilaksanakan
sementara ia masih mengingat tentang belas kasihan(simpati). Ia mengatakan
hanya kelemahan yang mengambil jalan keluar dengan mudahnya dan hanya
memikirkan tentang rasa belas kasihannya. Ia tahu kalau ini akan membuat orang
yahudi menderita lantas itu tidak membuat Himmler mengikuti rasa belas
kasihannya karena ini adalah tugasnya sebagai komandan dan ia tidak bisa
mengelak dari tugasnya, bad morality
wins over sympathy.
Lantas bukan berarti ia melakukan
semua tugasnya dengan mudah dan tanpa berat hati, Himmler menanggung beban
berat setelah itu dan bahkan membayar dengan harga untuk itu. He suffered a
variety of nervous and physical disabilities, including nausea and stomach
convulsions. Ia menderita disisa hidupnya.
Bersama dengan brutes dan karir yang
kejam, pasti ada seseorang yang perduli dan seseorang yang menderita dari
konflik antara rasa belas kasihan mereka dan moralitas buruk mereka.
Kemungkinan lain adalah konflik mungkin dihindari dengan cara menyerah atau
bahkan tidak pernah memiliki rasa belas kasihan tersebut, ini adalah kasus dari
Edwards seorang pendeta. Edwards tidak memiliki rasa belas kasihan karena ia
berfikir bahwa Tuhan akan mengampuni segala bad morality dan juga akan
membalasnya atau member hukuman,jadi Edwadrs hanya percaya dan menyerahkan
semuanya kepada Tuhan tanpa memiliki rasa belas kasihan di dalam dirinya
sendiri dan Bennett mengganggap Edwards lebih buruk dari Himmler karena Edwards
tidak memiliki konflik batin di dalam dirinya sendiri. God is acting justly in damning sinners.
·
"The
Central Role of the Victim" Philip Hallie
Dalam bagian ini sebenarnya
Philip Hallie melakukan kritikan terhadap Bennet. Ia menganggap bahwa dalam
cerita "The Conscience of Huckleberry Finn" adalah suatu tindakan
yang tidak memperdulikan peran korban. Menurutnya korban menjadi titik tolak
dalam mengambil keputusan yang etik. Dalam bukunya yang berjudul "
Alicie's Adventures in Wonderland" menceritakan ada seekor Walrus dan
seorang tukang kayu yang melakukan sebuah perjalanan atau mungkin petualangan. Dalam
perjalanannya ada suatu peristiwa dimana
Walrus ini menghasut atau menipu beberapa kerang untuk ikut dengannya. Namun
suatu saat ketika para kerang itu tertipu dan mengikuti, walrus itu malah
memakan para kerang itu tanpa merasa bersalah. Di bagian ini tukang kayu yang
melihat hal tersebut merasa ada yang salah dengan tindakan walrus dimana dia
harus menipu para kerang-kerang itu lalu tampa rasa bersalah memakan mereka. Dari
situ dapat dikatakan bahwa tindakan walrus adalah tindakan yang tidak
memperdulikan peran korban.
·
Where Eichmann's
Evil Lay
Dalam bukunya, Phillip Hallie
menerangkan mengenai apa itu good and
evil. Dalam menerangkan dua hal tersebut, Phillip mengambil beberapa contoh
yang sebelumnya pernah diberikan oleh dua orang filsuf etika yang bernama
Hannah Arendt dan Bernett. Sebenarnya, dalam bukunya, Phillip mengkritisi
pemikiran dan analogi yang diberikan oleh dua orang filsuf tersebut mengenai good and evil. Phillip mengkritisi
Hannah Arendt mengenai sikap Adolf Eichmann dalam pembantaian di Kamp
Konsentrasi ketika Perang Dunia II terjadi. Dalam mengkritisi Arendt, Phillip
mengatakan bahwa evil deeds yang ada pada Eichmann bukan hanya
berada dalam kegiatan atau aktivitas mentalnya saja, melainkan juga berada di
keadaan sekitarnya dan aktivitasnya ketika dia melakukan tugas dalam
mengeksekusi defenseless Jews.
Phillip juga menanggapi pernyataan
Bernett mengenai tulisannya yang menyatakan bahwa problematika good and evil juga terjadi pada Heinrich
Himmler. Dalam menanggapi tulisan Bernett, Phillip menambil morality of seeing-nya Corde dengan mengatakan bahwa Himmler memang
mengalami pertarungan batin saat ingin melakukan eksekusi terhadap para Jews
atau ketika dia sedang membuat lists
mengenai siapa saja yang akan diexterminate
oleh suborditanes-nya pada hari ini.
Namun, pada kenyataannya, Himmler tidaklah membuka hati para bawahannya dalam
melakukan pembantaian, dia hanya memberikan masalahan psikologis ketika
pembantaian itu terjadi.
·
"Facing the
Extreme : The War of All Against All" Tzvetan Todorov
Tzvetan Todorov (1939) adalah
filsuf Bulgaria yang sudah hidup di Prancis sejak 1963. Buku-bukunya termasuk The Poetics of Prose (1971), On Human
Diversity (1993), dan Imperfect Garden: The Legacy of Humanism (2002).
Bagian berikut disadur dari Facing the
Extreme : Moral Life in the Concentration Camps (1996).
Dalam bagian ini Todorov
menjelaskan adanya tensi yang konstan antara nilai vital dengan nilai moral.
Disatu sisi nilai vital mengatakan bahwa kita harus melakukan apa saja untuk
bertahan hidup, bahkan jika hal-hal itu melanggar norma. Sedangkan nilai moral
menekankan bahwa kita harus menolong orang lain terlepas seperti apa situasi
dan kondisi saat itu.
Todorov menyoroti praktik moral
yang terjadi di kamp konsentrasi ketika sekelompok tahanan yang telah mengalami
penyiksaan dan penindasan yang tidak manusiawi dipaksa untuk bertahan hidup,
Todorov merangkum beberapa kesaksian dari mereka yang mengalami degradasi moral
di kamp konsentrasi di Auschwitz. Beberapa dari mereka sudah meninggalkan
nilai-nilai penting dan "harga diri dan martabat" sebagai manusia untuk
tetap bisa bertahan hidup. Di dalam kamp konsentrasi tersebut mereka hanya bisa
memikirkan diri mereka sendiri dan mematikan empati terhadap orang-orang
disekitarnya.
Ada juga beberapa keraguan yang
ditunjukan kepada tesis di atas yang menyatakan bahwa dalam tensi yang konstan
antara nilai moral dengan nilai vital, nilai-nilai vital untuk bertahan
hiduplah yang harus diutamakan. Di kamp konsentrasi juga dapat terlihat
beberapa pribadi yang terus memilih untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan
kemanusiaan mereka.Mereka tidak menyangkal keegoisan mereka, tetapi mereka
tetap memilih untuk mempertahankan kemanusiaannya. Ada orang yang berbagi
makanan dan minuman dengan orang yang tidak dikenalnya, ada ayah dan anak yang
saling berbagi roti walau berkekurangan. Ini menyatakan bahwa nilai moral masih
menjadi pilihan bagi para tahanan Auschwitz yang selamat dan memberikan beberapa
keuntungan bagi mereka seperti tenaga tambahan untuk bekerja karena bekerja
secara bersama-sama.
Dalam pertentangan antara kedua
teori ini, sebenarnya menurut sekmen ini bukanlah suatu masalah sama sekali
karena 2 nilai, 2 teori seringkali bersifat kontradiktif, hal-hal seperti
inilah yang membuat dunia tetap seimbang. Tetapi hal yang paling penting adalah
posibilitas untuk tetap memilih nilai moral tetap ada.
·
"Strategies
for Survival" Anne Applebaum
Anne Applebaum (1964) adalah
kolumnis dan member dari papan editorial dari Washington Post adalah pengarang
dari Between East and West : Across the
Borderland of Europe (1994) dan segmen ini disadur dari the Pulitzer Prize winning Gulag : A History
(2003)
Dalam segmen ini, penulis
menuliskan bahwa strategi untuk bertahan dalam degradasi moral di masa yang
kacau adalah dengan berkolaborasi dengan pihak lain, dan untuk menjaga
stabilitas diperlukan adanya nilai-nilai
moral yang ditentukan. Dituliskan bahwa akhirnya banyak tahanan yang
selamat karena menggunakan strategi ini.
Nilai-nilai moral yang
dipertahankan seperti rasa hormat terhadap martabat orang lain dan martabat
diri sendiri menolong tahanan untuk tetap waras dan mempertahankan kemanusiaan
mereka. Kegiatan berkumpul dan berserikat, meskipun dianggap kurang signifikan
seperti kelompok olahrag atau teater di dalam penjara memberikan mereka
ketenangan dan kekuatan untuk tetap melanjutkan hidup. Secara garis besar, hal
yang ditulis oleh Applebaum adalah nilai-nilai moral yang dipertahankan akan
menghasilkan kolaborasi antara pihak yang tertindas adalah salah satu strategi
paling efektif dalam bertahan hidup ditengah kekacauan dan penindasan.
Pada bagian ini kami akan
memberikan penjelasan akhir atau semacam kesimpulan, kesimpulan dari kami
sebenarnya tidak bersumber pada para tokoh-tokoh filsuf di atas melainkan dari
seorang filsuf Tiongkok yaitu Confucius (551-479) SM, ia adalah seorang ahli
padagogi besar pertama dalam sejarah Tiongkok dan juga sebagai seorang filsuf
yang cukup terkenal pada saat itu. Ia berasal dari negara Lu atau yang sekarang
dikenal sebagai provinsi Shandong. Nama sebenarnya adalah Kong Fu Zi, yang
orang barat menyebutnya Confusius atau kalau orang Indonesia lebih mengenalnya
dengan sebutan Konghucu. Sebenarnya ia adalah seorang tokoh yang sangat menjunjung
tinggi kemanusiaan dan keadilan. Dalam permasalahanya dengan etika, moral dan
kemanusian ada yang menarik bagi kami yaitu dalam kata-katanya. Confucius
pernah berkata seperti ini "apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan
itu kepada kita, maka jangan lakukan itu kepada orang lain" sebuah
kata-kata yang simpel namun sangat bernilai sekali, seakan ya kalau kita tidak
ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada kita, maka jangan lakukan keburukan itu
kepada orang lain. Maka dari itu, berperilakulah sebagaimana anda ingin
diperlakukan oleh orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar