Senin, 29 September 2014

Etika (Penjelasan dan Pemahaman Good and Evil)


Disini kami yang terdiri dari saya (Dimas Rizky Akbary), Adrian Bayuatmaja, Mutia Agroli, Adrian Ray, Dianali Pitasari dan Naufal Syahrin Wibowo adalah suatu kelompok dalam kelas Etika yang akan dibahas tentang tulisan Jonathan Bennett yang berjudul "The Conscience of Huckleberry Finn". Dalam bukunya Bennet menyatakan bahwa "Huck" mengalami pergolakan batin ketika dia membantu sang budak yang bernama "Jim" melarikan diri, Huck tau bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya bertentangan dengan ajaran yang dia terima pada suatu waktu, mengenai bahwa budak itu bukanlah manusia sehingga dia tidak pantas untuk di tolong. Akan tetapi Huck tetap menolong Jim untuk melarikan diri karena merasa kasihan terhadap "Jim".
Disini dibahas juga mengenai tulisan Philip Hallie yang masih berkaitan juga dengan tulisan Jonathan Bennett tentang tindakan "Heinrich Himmler". Perbedaannya adalah Bennet lebih mekekankan kepada pergolakan batin yang terjadi di dalam diri Himmler ketika dia ingin menyeleksi siapa saja yang akan disiksa atau dibunuh pada hari itu. Sedangkan Hallie mengkritisi pemikiran Bennett bahwa seharusnya evil dilihat bukan dari pergolakan batin sang pelaku melainkan dilihat dari perjuangan korban.
Selain itu di sini kami juga akan membahas beberapa para filsuf lain yang terlibat dalam pembahasan problem "Good and Evil" serta argumen-argumen mereka mengenai etika dan moral seperti, Tzvetan Todorov, dan Anne Applebaum. Berikut adalah penjelasan singkat kami mengenai pembahasan mereka.
·                     "From Cruelty to Goodness" Philip Hallie

Philip Hallie (1922-1994) adalah seorang profesor filsafat di Universitas Wesleyan. Karya-karya yang doterbitkan termasuk The Paradox of Cruelty (1969), Lest Innocent Blood be Shed (1979), dan In The Eye of the Hurricane : Tales of good and evil, Help and Harm (2001)
Dalam bagian ini etika itu melibatkan aturan hukum dan cita-cita. Dalam hal ini mengikuti etika negatif agar menjadi layak untuk memiliki suatu hal yang bersih, namun pada dasarnya etika itu juga adalah sesuatu hal yang bersih. Etika juga berperan sebagai penjaga yakni sebagai cara agar aktif dalam kehidupan.
ada yang dinamakan sebagai paradox of cruelty (paradox kekejaman) menurut Philip hallie. Kekejaman sama dengan perwujudan partikularatas evil bukan topic central dan evil bukanlah sama dengan kekejaman. Mengapa lawan dari kekejaman itu bukan satu satunya kunci dari manusia secara historis? .Kebebasan antara relasi antar kekejaman ini menunjukan kekuasaan bukanlah pembahasan central dari filsif barat. Kabur dari kekejaman itu bukanlah urusan yang negative. Lawan dari kekejaman itu bukanlah positif karena kebaikan itu adalah hal yang positif bukan negative.

Berharap mencari kebenaran atas kebaikan dalam evil yang sangat central. Dia memulainya melihat dari dekat yang dinamakan ‘medical experiment” dari nazi Biasanya anak-anak yahudi dan gypsy didalam camp kematian. Disini adanya yang paling lemah diantara yang lemah tidak hanya mereka meremehkan minoritas melainkan mereka sebagai individu yang mash belum berumur. Dia berusaha untuk membuat teori objektif,  namun disaat itu juga dia memberikan jarak diantara para korban maka dia juga sama-sama menjadi monster yang kejam karena dia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan para korban. 

Pencarian dari kejahatan konkret kekebaikan konkret. Apapun prinsip-prinsip moral mungkin berlaku untuk situasi partikular didalam cara berjalan bertentangan kedorongan perasaan partikular didalam situasi tertentu. Dia segera memperhatikan simpati dalam relasi antar bad morality.Tetapi bukan hanya karena konflik semacam itu menjadikan morality itu buruk.

·         "The Conscience of Huckleberry Finn" Jonathan Bennett

Jonathan Bennett (1930) adalah Professor "Emeritus of philosophy" di Universitas Syracuse. Dia adalah pengarang dari beberapa buku, termasuk Kant's Analytic (1966), Rationality:An Essay towards an Analysis (1989), A philosophical guide to conditionals (2003)
Bennett mempertimbangkan moral hati nurani dari Huckleberry Finn, Himmler dan Edwards. Moralitas buruk adalah prinsip moralitas yang saya sangat tidak setujui. Rasa belas kasihan terhadap seseorang mungkin akan membawa kita untuk membantu seseorang tersebut. Sangat jelas perasaan can impel one to action and so can moral judgement, dan dalam particular kasus belas kasihan(simpati) dan moralitas mungkin menarik ke dalam arah/tujuan yang berlawanan. Huck Finn membantu Jim temannya (budak) untuk melarikan diri dari Miss Watson majikannya, Huck merasa kasihan kepada Jim karena manusia tidak selayaknya diperlakukan seperti itu dan manusia tidak selayaknya dimiliki seperti hewan peliharaan seperti itu, pada saat itu juga Huck memiliki kesempatan untuk mengembalikan Jim kepada majikannya tetapi Huck tidak melakukan itu karena rasa simpatinya mengalahkan bad morality, Huck tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apa yang ia yakini harus lakukan (menyerahkan Jim kembali). Lalu Huck membiarkan Jim untuk kabur. Huck menderita memikirkan apa yang sudah ia lakukan, ia berfikir “apa yang sudah Nyonya Watson lakukan kepadaku?” sehingga ia tega membantu budaknya Nyonya Watson untuk melarika diri, “ini karena aku tidak berfikir dengan jernih”. Huck hanya gagal untuk melakukan sesuatu yang ia percayai untuk menajadi benar, ia tidak cukup kuat. This passage in the novel is notable not just for its finely wrought irony, with Huck’s weakness of will leading him to do the right thing, but also for its masterly handling of the difference between general moral principles and particular unreasoned emotional pulss.
            Mempertimbangkan kasus lain dari moralitas buruk dalam konflik belas kasihan manusia, kasus dari Himmler komandan Nazi, yang setiap harinya harus menentukan siapa saja orang-orang yahudi yang harus di eksekusi dan siapa saja yang masih bisa hidup untuk beberapa hari kedepan dan Himmler melihat tugasnya akan menjadi berat untuk dilaksanakan sementara ia masih mengingat tentang belas kasihan(simpati). Ia mengatakan hanya kelemahan yang mengambil jalan keluar dengan mudahnya dan hanya memikirkan tentang rasa belas kasihannya. Ia tahu kalau ini akan membuat orang yahudi menderita lantas itu tidak membuat Himmler mengikuti rasa belas kasihannya karena ini adalah tugasnya sebagai komandan dan ia tidak bisa mengelak dari tugasnya, bad morality wins over sympathy.
            Lantas bukan berarti ia melakukan semua tugasnya dengan mudah dan tanpa berat hati, Himmler menanggung beban berat setelah itu dan bahkan membayar dengan harga untuk itu. He suffered a variety of nervous and physical disabilities, including nausea and stomach convulsions. Ia menderita disisa hidupnya.
            Bersama dengan brutes dan karir yang kejam, pasti ada seseorang yang perduli dan seseorang yang menderita dari konflik antara rasa belas kasihan mereka dan moralitas buruk mereka. Kemungkinan lain adalah konflik mungkin dihindari dengan cara menyerah atau bahkan tidak pernah memiliki rasa belas kasihan tersebut, ini adalah kasus dari Edwards seorang pendeta. Edwards tidak memiliki rasa belas kasihan karena ia berfikir bahwa Tuhan akan mengampuni segala bad morality dan juga akan membalasnya atau member hukuman,jadi Edwadrs hanya percaya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan tanpa memiliki rasa belas kasihan di dalam dirinya sendiri dan Bennett mengganggap Edwards lebih buruk dari Himmler karena Edwards tidak memiliki konflik batin di dalam dirinya sendiri. God is acting justly in damning sinners.
·         "The Central Role of the Victim" Philip Hallie

Dalam bagian ini sebenarnya Philip Hallie melakukan kritikan terhadap Bennet. Ia menganggap bahwa dalam cerita "The Conscience of Huckleberry Finn" adalah suatu tindakan yang tidak memperdulikan peran korban. Menurutnya korban menjadi titik tolak dalam mengambil keputusan yang etik. Dalam bukunya yang berjudul " Alicie's Adventures in Wonderland" menceritakan ada seekor Walrus dan seorang tukang kayu yang melakukan sebuah perjalanan atau mungkin petualangan. Dalam perjalanannya ada suatu peristiwa  dimana Walrus ini menghasut atau menipu beberapa kerang untuk ikut dengannya. Namun suatu saat ketika para kerang itu tertipu dan mengikuti, walrus itu malah memakan para kerang itu tanpa merasa bersalah. Di bagian ini tukang kayu yang melihat hal tersebut merasa ada yang salah dengan tindakan walrus dimana dia harus menipu para kerang-kerang itu lalu tampa rasa bersalah memakan mereka. Dari situ dapat dikatakan bahwa tindakan walrus adalah tindakan yang tidak memperdulikan peran korban.

·         Where Eichmann's Evil Lay

Dalam bukunya, Phillip Hallie menerangkan mengenai apa itu good and evil. Dalam menerangkan dua hal tersebut, Phillip mengambil beberapa contoh yang sebelumnya pernah diberikan oleh dua orang filsuf etika yang bernama Hannah Arendt dan Bernett. Sebenarnya, dalam bukunya, Phillip mengkritisi pemikiran dan analogi yang diberikan oleh dua orang filsuf tersebut mengenai good and evil. Phillip mengkritisi Hannah Arendt mengenai sikap Adolf Eichmann dalam pembantaian di Kamp Konsentrasi ketika Perang Dunia II terjadi. Dalam mengkritisi Arendt, Phillip mengatakan bahwa evil deeds yang ada pada Eichmann bukan hanya berada dalam kegiatan atau aktivitas mentalnya saja, melainkan juga berada di keadaan sekitarnya dan aktivitasnya ketika dia melakukan tugas dalam mengeksekusi defenseless Jews.

Phillip juga menanggapi pernyataan Bernett mengenai tulisannya yang menyatakan bahwa problematika good and evil juga terjadi pada Heinrich Himmler. Dalam menanggapi tulisan Bernett, Phillip menambil morality of seeing-nya Corde dengan mengatakan bahwa Himmler memang mengalami pertarungan batin saat ingin melakukan eksekusi terhadap para Jews atau ketika dia sedang membuat lists mengenai siapa saja yang akan diexterminate oleh suborditanes-nya pada hari ini. Namun, pada kenyataannya, Himmler tidaklah membuka hati para bawahannya dalam melakukan pembantaian, dia hanya memberikan masalahan psikologis ketika pembantaian itu terjadi.


·         "Facing the Extreme : The War of All Against All" Tzvetan Todorov

Tzvetan Todorov (1939) adalah filsuf Bulgaria yang sudah hidup di Prancis sejak 1963. Buku-bukunya termasuk The Poetics of Prose (1971), On Human Diversity (1993), dan Imperfect Garden: The Legacy of Humanism (2002). Bagian berikut disadur dari Facing the Extreme : Moral Life in the Concentration Camps (1996).

Dalam bagian ini Todorov menjelaskan adanya tensi yang konstan antara nilai vital dengan nilai moral. Disatu sisi nilai vital mengatakan bahwa kita harus melakukan apa saja untuk bertahan hidup, bahkan jika hal-hal itu melanggar norma. Sedangkan nilai moral menekankan bahwa kita harus menolong orang lain terlepas seperti apa situasi dan kondisi saat itu. 

Todorov menyoroti praktik moral yang terjadi di kamp konsentrasi ketika sekelompok tahanan yang telah mengalami penyiksaan dan penindasan yang tidak manusiawi dipaksa untuk bertahan hidup, Todorov merangkum beberapa kesaksian dari mereka yang mengalami degradasi moral di kamp konsentrasi di Auschwitz. Beberapa dari mereka sudah meninggalkan nilai-nilai penting dan "harga diri dan martabat" sebagai manusia untuk tetap bisa bertahan hidup. Di dalam kamp konsentrasi tersebut mereka hanya bisa memikirkan diri mereka sendiri dan mematikan empati terhadap orang-orang disekitarnya.

Ada juga beberapa keraguan yang ditunjukan kepada tesis di atas yang menyatakan bahwa dalam tensi yang konstan antara nilai moral dengan nilai vital, nilai-nilai vital untuk bertahan hiduplah yang harus diutamakan. Di kamp konsentrasi juga dapat terlihat beberapa pribadi yang terus memilih untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan kemanusiaan mereka.Mereka tidak menyangkal keegoisan mereka, tetapi mereka tetap memilih untuk mempertahankan kemanusiaannya. Ada orang yang berbagi makanan dan minuman dengan orang yang tidak dikenalnya, ada ayah dan anak yang saling berbagi roti walau berkekurangan. Ini menyatakan bahwa nilai moral masih menjadi pilihan bagi para tahanan Auschwitz yang selamat dan memberikan beberapa keuntungan bagi mereka seperti tenaga tambahan untuk bekerja karena bekerja secara bersama-sama.

Dalam pertentangan antara kedua teori ini, sebenarnya menurut sekmen ini bukanlah suatu masalah sama sekali karena 2 nilai, 2 teori seringkali bersifat kontradiktif, hal-hal seperti inilah yang membuat dunia tetap seimbang. Tetapi hal yang paling penting adalah posibilitas untuk tetap memilih nilai moral tetap ada.

·         "Strategies for Survival" Anne Applebaum

Anne Applebaum (1964) adalah kolumnis dan member dari papan editorial dari Washington Post adalah pengarang dari Between East and West : Across the Borderland of Europe (1994) dan segmen ini disadur dari the Pulitzer Prize winning Gulag : A History (2003)

Dalam segmen ini, penulis menuliskan bahwa strategi untuk bertahan dalam degradasi moral di masa yang kacau adalah dengan berkolaborasi dengan pihak lain, dan untuk menjaga stabilitas diperlukan adanya nilai-nilai moral yang ditentukan. Dituliskan bahwa akhirnya banyak tahanan yang selamat karena menggunakan strategi ini.

Nilai-nilai moral yang dipertahankan seperti rasa hormat terhadap martabat orang lain dan martabat diri sendiri menolong tahanan untuk tetap waras dan mempertahankan kemanusiaan mereka. Kegiatan berkumpul dan berserikat, meskipun dianggap kurang signifikan seperti kelompok olahrag atau teater di dalam penjara memberikan mereka ketenangan dan kekuatan untuk tetap melanjutkan hidup. Secara garis besar, hal yang ditulis oleh Applebaum adalah nilai-nilai moral yang dipertahankan akan menghasilkan kolaborasi antara pihak yang tertindas adalah salah satu strategi paling efektif dalam bertahan hidup ditengah kekacauan dan penindasan.

Pada bagian ini kami akan memberikan penjelasan akhir atau semacam kesimpulan, kesimpulan dari kami sebenarnya tidak bersumber pada para tokoh-tokoh filsuf di atas melainkan dari seorang filsuf Tiongkok yaitu Confucius (551-479) SM, ia adalah seorang ahli padagogi besar pertama dalam sejarah Tiongkok dan juga sebagai seorang filsuf yang cukup terkenal pada saat itu. Ia berasal dari negara Lu atau yang sekarang dikenal sebagai provinsi Shandong. Nama sebenarnya adalah Kong Fu Zi, yang orang barat menyebutnya Confusius atau kalau orang Indonesia lebih mengenalnya dengan sebutan Konghucu. Sebenarnya ia adalah seorang tokoh yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan. Dalam permasalahanya dengan etika, moral dan kemanusian ada yang menarik bagi kami yaitu dalam kata-katanya. Confucius pernah berkata seperti ini "apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan itu kepada kita, maka jangan lakukan itu kepada orang lain" sebuah kata-kata yang simpel namun sangat bernilai sekali, seakan ya kalau kita tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada kita, maka jangan lakukan keburukan itu kepada orang lain. Maka dari itu, berperilakulah sebagaimana anda ingin diperlakukan oleh orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar