Jumat, 19 September 2014

Pembahasan Singkat Positivisme Logis


Untuk penjelasan "Positvisme Logis", kita harus tau dulu apa itu "Positivisme". "Positivisme" adalah sebuah paham yang berkembang di masyarakat Eropa pada awal abad ke-19 sampai ke-20. Positivisme itu sendiri sebenarnya adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Positivisme awalnya adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Pemahaman Positivisme ini dicetuskan pada pertengahan abad ke-19 oleh salah seorang pendiri ilmu sosiologi yaitu "Auguste Comte". Ia percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positivisme. Pertama tahap yaitu Teologis, Dalam tahap ini peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa ada kekuatan supranatural yang mengatur dan menyebabkan semua kejadian alam. Lalu yang kedua adalah tahap metafisik, Di tahap ini peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dikatakan juga sebagai modifikasi dari tahap Teologis, bedanya pada tahap ini kekuatan dewa-dewi diganti oleh entitas metafisik yang dianggap ada pada setiap benda.  Dan tahap yang ketiga adalah positivisme, ini merupakan tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan, dalam tahap inilah semua peristiwa-peristiwa dijelaskan secara ilmiah. Comte berpendapat bahwa ini merupakan puncak dari tahap pemikiran manusia, ia mengartikan bahwa Positivisme sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas, yang pasti dan bermanfaat.
Namun sayangnya pemahaman Positivisme ini dianggap mengandung beberapa kelemahan yaitu, Reduksi realitas pada fakta yang teramati telah menyingkirkan dimensi dan prefektif lain, dan memandang manusia hanya sebagai objek. Pandangan seperti itu tidak dapat dibenarkan. Lalu yang kedua, Positivisme tidak mengakui sifat kontigensi, relativitas dan historisitas (rasio) manusia. Lalu Positivisme juga tidak mampu menjelaskan keberagaman budaya dan keuinikan manusia seperti budaya lokal, etnis, agama, dan kultur. Karena itu Positivisme ditolak oleh pendukung Post-Positivisme dan Postmodernisme, serta dalam ilmu sosial-budaya, Positivisme banyak di kritik dan ditinggalkan. Lalu kepercayaan Positivisme ini bahwa ilmu pengetahuan akan membawa kepada kemajuan ternyata di sisi lain juga membawa pengaruh yang negatif seperti persaingan senjata/perang, kesenjangan antara negara kaya dan miskin, masalah ekologi dan lain-lain. Maalah ini juga merupakan kritik dari kaum Post-Positivisme terhadap Positivisme yang sangat mempercayai bahwa ilmu pengetahuan dapat menciptakan keadilan, kemakmuran dalam masyarakat modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang bisa memberi kemudahan dan harapan bagi umat manusia, namun di sisi lain juga membawa dampak negatif (bersifat Ambivalen).
                                                                                                  
Sejak saat itu munculah dengan paham yang disebut "Postivisme Logis". Postivisme logis adalah suatu faham filsafat ilmu pengetahuan yang dimulai oleh Lingkaran Wina. Mereka menggabungkan beberapa aspek dari positivisne August Comte dan Ernest Mach dengan berapa aspek filsafat analitis. Terutama mereka terpengaruh oleh filsafat bahasa Wittgenstein. Lingkaran Wina merupakan sekumpulan ilmuan yang membahas mengenai ilmu pengetahuan. Positivisme Logis dipopulerkan di inggris oleh A.J. Ayers.  Beberapa tokoh filsafat analitik seperti Bertand Russel mulai mengemukakan istilah "Data Indrawi" sebagai suatu hal yang tidak dapat diragukan oleh semua aliran filsafat ilmu pengetahuan. Dia menolak Idealisme dengan menyatakan bahwa apa yang saya ketahui tidak dapat direduksi pada kesadaran saya mengenainya. Beberapa tokoh filsafat analitik menganggap bahwa idealisme itu bertentangan dengan akal sehat. Menurut mereka filsafat harus berpijak pada akal sehat dan alatnya adalah analisis. Dalam pandangan tokoh-tokoh positivisme logis atau fisafat analitik, pernyataan ilmiah harus disusun berdasarkan data indrawi, karena itu bahasa ilmiah dapat dianalisis benar tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Dalam pandangan mereka, hanya ada dua model bahasa yang rasional (bisa dibuktikan benar atau salah) yaitu kalimat atau proposisi analitis dan proposisi sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika dan matematika sedangkan sintetis berdasarkan fakta (pengalaman).
Tujuan dari Positivisme dan positivisme Logis sebenarnya adalah untuk menghancurkan filsafat dan metafisika, kecuali filsafat yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan absolud. Positivisme membatasi bahsa ilmiah hanya pada dua hal yaitu bahasa faktual dan pernyataan logis matematis. Anehnya, kriteria tentang batas bahasa yang dikemukakan oleh tokoh positivisme logis itu sebenarnya bukan didasarkan oleh verifikasi empiris melainkan diterima begitu saja. Maka dari itu Sayangnya, Postivisme Logis memiliki kelemahan yang fatal. Ini disebabkan karena jika semua pernyataan yang tidak bisa diverifikasi tidak memiliki makna maka Positivisme Logis juga tidak memiliki makna karena pernyataan Positivisme Logis sendiri  sama sekali tidak bisa diverifikasi maka dari itu Positivisme Logis tidak bermakna.
Kesimpulannya, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka dari itu sebenarnya tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Menurut saya suatu kebenara tetap bernilai benar meskipun tidak ada satu orangpun yang mempercayainya dan kesalahan tetaplah salah walaupun semua orang mempercayainya. Namun dalam ruang lingkup sosial hal itu sangat sulit berlaku karena disana  benar atau salahnya suatu hal tidak dapat benilai absolud atau universal, sesuatu dapat menjadi benar jika mayoritas ataupun pihak berkuasa saat itu menyatakan benar hal itu dan sesuatu bisa menjadi salah jika mayoritas dan pihak berkuasa menyatakan hal itu salah.

Referensi :
Buku Filsafat Ilmu - Dr. Akhyar Yusuf Lubis
www.philosophypages.com
catatan kuliah filsafat ilmu
pemikiran sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar