Jumat, 16 Januari 2015

Teori plato tentang Kebudayaan versi saya

Menurut Plato budaya adalah "pembebasan jiwa"
sedangkan penjelasannya adalah menurut saya sendiri.
Langsung saja saya bahas tentang apa yang dimaksud dengan budaya menurut Plato adalah "Pembebasan Jiwa". Dari sini saya akan membahasanya satu persatu tentang apa yang dimaksud dengan pembebasan dan apa itu jiwa? Serta mengapa itu berhubungan dengan kebudayaan? Menurut pemikiran saya sendiri.
Pertama pembebasan, apasih yang dimaksud dengan pembebasan itu? Menurut saya pemebasan itu adalah membebaskan yang dimana kata yang utuhnya bersal dari bebas. Bebas itu sendiri menurut saya adalah "kosong" yang dimana tidak apa-apa dan tidak terbatas, seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa hari kita lahir adalah hari terakhir dimana kita merasakan kebebasan. Dari situ saya menganggap bahwa saat kita hidup dan mulai menjalani hari sesungguhnya kita tidak pernah bebas, bebas yang sesungguhnya adalah saat dimana kita belum dilahirkan. Namun beberapa orang menyangkal bahwa yang dimaksud dengan bebas adalah bebas memilih, mereka bilang bahwa ketika kita hidup kita bebas untuk memilih. Nah dari situ saya mencoba menanyakan kembali, jika bebas itu adalah pilihan maka bukannya justru karena ada pilihan itulah kita tidak bebas? Memilih dan dipilih? Dimana letak kebebasannya? Jikapun tidak memilih dan tidak dipilih tetap saja tidak ada kebebasan disana karena masih ada "milih" itu sendiri.  Jadi Menurut saya begini, yang dimaksud dengan kebebasan utuh itu adalah kosong yang tek terhingga dalam artian semua ada dalam kebebasan itu termasuk dengang pilihan, kemauan, keinginan, dan memilih sesungguhnya sudah ada dalam kebebasan itu sendiri. Jadi analoginya itu seperti ini agar dapat dipahami : pertama saat kita belum lahir, itu adalah saat dimana kita berada dalam kebebasan yang paling utuh karena kita sedang berada pada saat dimana semua bisa saja. Lalu kita lahir, itu adalah pilihan yang kita pilih dari kebebasan yang kita punya dan kita kehilangan memilih untuk tidak lahir tapi dari kelahiran itu kita memiliki kebebasan baru lagi untuk berkembang dalam kehidupan.  Setelah kita lahir dan berkembang, kita memiliki kebebasan untuk memilih tindakan apa yang kita inginkan selanjutnya, misalnya kita memilih untuk mempacari salah satu perempuan maka dengan begitu kita telah kehilangan kebebasan untuk mempacari atau mecari perempuan lain namun kita punya kebebasan baru lagi yaitu kita bebas atas pacar kita sendiri. Jadi kebebasan bukanlah pilihan tetapi kebebasan adalah kekosongan yang meliputi semuanya termasuk pilihan itu sendiri.
Lalu apa sih yang dimaksud dengan jiwa? Bagi saya ada dua anggapan tentang jiwa ini tergantung dari realitasnya. Pertama jika diketahui bahwa jiwa dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain maka pastinya jiwa itu adalah materi sedangkan jika memang tidak dapat dipindahkan dari sutau tempat ke tempat lainya maka dapat dimungkinkan bahwa jiwa itu adalah "ide". Tetapi posisi saya disini adalah materialsm yang artinya saya lebih percaya bahwa jiwa adalah materi. Mengapa materi? Padahal realitanya, saya sendiri juga belum tau pasti dapat atau tidaknya suatu jiwa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainya. Bagi saya jika jiwa itu memang benar ada maka jiwa itu berada diseluruh bagian mahluk itu, bagaiman saya bisa yakin? Itu karena aura, karisma dan suara, serta hal lainya yag dipancarkan oleh mahluk itu. Aura yang keluar dan menghasilkan warna itu adalah hasil dari jiwa, karisma adalah pancaran dari jiwa dan suara itu sendiri adalah materi yang merupakan perpanjangan dari jiwa. Gampangnya jiwa itu adalah semacam suatu energi yang berada pada sekujur tubuh mahluk.  Dia adalah semacam zat halus yang menyebabkan adanya relasi dengan zat lain. Contoh gampangnya mungkin seperti ini. Jika seseorang sedang melihat lawan jenisnya lalu orang ini jatuh cinta lalu otaknya merespon disuatu bagian tertentu lalu dari otaknya merespon kesegala tubuhnya sehingga orang ini merasa senang nah maka peran jiwa disini adalah memancarkan kesenangannya ini sehingga saat orang ini bertemu dengan temannya maka terkadang temannya akan mengatakan "keliatanya kamu lagi senang nih" secara kasat mata orang itu bisa bilang senang karena melihat dengan indranya, padahal tanpa disadari itu secara gak langsung di akibatkan oleh jiwa yang dipancarakan dan jiwa yang menerima pancaran itu, secara tidak langsung zat mereka berdua saling berkontraksi menukar informasi.

Nah lalu di bagian terakhir saya akan menjelaskan hubungan kedua hal itu dengan budaya. Sebenarnya saya setuju dengan arti budaya adalah pembebasan jiwa menurut Plato, namun saya kurang setuju dengan penjelasannya karena saya sendiri juga tidak tau penjelasannya Plato tentang pembebasan jiwa itu sendiri. Jadi saya sendiri juga merasa seperti tidak setuju tanpa alasan yang jelas hehe... penjelasan dari saya adalah, budaya adalah usaha untuk membebaskan jiwanya dalam artian ketika suatu mahluk ingin mengembangkan dirinya, mengaspresiasikan, mengeksiskan dirinya, bagi saya itu sudah termasuk budaya. Budaya adalah semua hal dan bentuk upayah untuk membebaskan jiwanya dan memancarkan jiwanya. Dalam kasus yang saya bahas misalanya perempuan yang melepas kerudungnya, itu adalah suatu bentuk kalo jiwanya ingin lepas dari kerudung itu atau malah tanpa disadari saat dia memakai kerudung sesungguhnya dia merasa tidak bebas, tidak dapat mengekspor dirinya makanya dia lepas kerudungnya untuk membebaskan jiwanya yang selama ini terpendam oleh kerudung tersebut. Atau misalnya ditemukan bahwa ada perempuan berjilbab tetapi gaya bicaranya malah kasar, merokok, dan suka sex, mungkin tanpa disadari sebenarnya perempuan itu terkekang oleh keadaan sosial atau keluarganya sendiri dimana dia harus diwajibkan untuk berkerudung, padahal karena berkerudung itu dia malah merasa tidak nyaman dan tidak bebas, maka  hal-hal seperti berbicara kasar, merokok dan yang lainnya itu secara tidak langsung malah menjadi pelampiasan akibat dari ketidak bebasan jiwanya.  

Filsafat Ilmu (Positivisme Logis)

Nama : Dimas rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Filsafat Ilmu (Positivisme Logis)
Untuk penjelasan "Positvisme Logis", kita harus tau dulu apa itu "Positivisme". "Positivisme" adalah sebuah paham yang berkembang di masyarakat Eropa pada awal abad ke-19 sampai ke-20. Positivisme itu sendiri sebenarnya adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Positivisme awalnya adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Pemahaman Positivisme ini dicetuskan pada pertengahan abad ke-19 oleh salah seorang pendiri ilmu sosiologi yaitu "Auguste Comte". Ia percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positivisme. Pertama tahap yaitu Teologis, Dalam tahap ini peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa ada kekuatan supranatural yang mengatur dan menyebabkan semua kejadian alam. Lalu yang kedua adalah tahap metafisik, Di tahap ini peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dikatakan juga sebagai modifikasi dari tahap Teologis, bedanya pada tahap ini kekuatan dewa-dewi diganti oleh entitas metafisik yang dianggap ada pada setiap benda.  Dan tahap yang ketiga adalah positivisme, ini merupakan tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan, dalam tahap inilah semua peristiwa-peristiwa dijelaskan secara ilmiah. Comte berpendapat bahwa ini merupakan puncak dari tahap pemikiran manusia, ia mengartikan bahwa Positivisme sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas, yang pasti dan bermanfaat.
Namun sayangnya pemahaman Positivisme ini dianggap mengandung beberapa kelemahan yaitu, Reduksi realitas pada fakta yang teramati telah menyingkirkan dimensi dan prefektif lain, dan memandang manusia hanya sebagai objek. Pandangan seperti itu tidak dapat dibenarkan. Lalu yang kedua, Positivisme tidak mengakui sifat kontigensi, relativitas dan historisitas (rasio) manusia. Lalu Positivisme juga tidak mampu menjelaskan keberagaman budaya dan keuinikan manusia seperti budaya lokal, etnis, agama, dan kultur. Karena itu Positivisme ditolak oleh pendukung Post-Positivisme dan Postmodernisme, serta dalam ilmu sosial-budaya, Positivisme banyak di kritik dan ditinggalkan. Lalu kepercayaan Positivisme ini bahwa ilmu pengetahuan akan membawa kepada kemajuan ternyata di sisi lain juga membawa pengaruh yang negatif seperti persaingan senjata/perang, kesenjangan antara negara kaya dan miskin, masalah ekologi dan lain-lain. Maalah ini juga merupakan kritik dari kaum Post-Positivisme terhadap Positivisme yang sangat mempercayai bahwa ilmu pengetahuan dapat menciptakan keadilan, kemakmuran dalam masyarakat modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang bisa memberi kemudahan dan harapan bagi umat manusia, namun di sisi lain juga membawa dampak negatif (bersifat Ambivalen).

Sejak saat itu munculah dengan paham yang disebut "Postivisme Logis". Postivisme logis adalah suatu faham filsafat ilmu pengetahuan yang dimulai oleh Lingkaran Wina. Mereka menggabungkan beberapa aspek dari positivisne August Comte dan Ernest Mach dengan berapa aspek filsafat analitis. Terutama mereka terpengaruh oleh filsafat bahasa Wittgenstein. Lingkaran Wina merupakan sekumpulan ilmuan yang membahas mengenai ilmu pengetahuan. Positivisme Logis dipopulerkan di inggris oleh A.J. Ayers.  Beberapa tokoh filsafat analitik seperti Bertand Russel mulai mengemukakan istilah "Data Indrawi" sebagai suatu hal yang tidak dapat diragukan oleh semua aliran filsafat ilmu pengetahuan. Dia menolak Idealisme dengan menyatakan bahwa apa yang saya ketahui tidak dapat direduksi pada kesadaran saya mengenainya. Beberapa tokoh filsafat analitik menganggap bahwa idealisme itu bertentangan dengan akal sehat. Menurut mereka filsafat harus berpijak pada akal sehat dan alatnya adalah analisis. Dalam pandangan tokoh-tokoh positivisme logis atau fisafat analitik, pernyataan ilmiah harus disusun berdasarkan data indrawi, karena itu bahasa ilmiah dapat dianalisis benar tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Dalam pandangan mereka, hanya ada dua model bahasa yang rasional (bisa dibuktikan benar atau salah) yaitu kalimat atau proposisi analitis dan proposisi sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika dan matematika sedangkan sintetis berdasarkan fakta (pengalaman).
Tujuan dari Positivisme dan positivisme Logis sebenarnya adalah untuk menghancurkan filsafat dan metafisika, kecuali filsafat yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan absolud. Positivisme membatasi bahsa ilmiah hanya pada dua hal yaitu bahasa faktual dan pernyataan logis matematis. Anehnya, kriteria tentang batas bahasa yang dikemukakan oleh tokoh positivisme logis itu sebenarnya bukan didasarkan oleh verifikasi empiris melainkan diterima begitu saja. Maka dari itu Sayangnya, Postivisme Logis memiliki kelemahan yang fatal. Ini disebabkan karena jika semua pernyataan yang tidak bisa diverifikasi tidak memiliki makna maka Positivisme Logis juga tidak memiliki makna karena pernyataan Positivisme Logis sendiri  sama sekali tidak bisa diverifikasi maka dari itu Positivisme Logis tidak bermakna.
Kesimpulannya, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka dari itu sebenarnya tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Menurut saya suatu kebenara tetap bernilai benar meskipun tidak ada satu orangpun yang mempercayainya dan kesalahan tetaplah salah walaupun semua orang mempercayainya. Namun dalam ruang lingkup sosial hal itu sangat sulit berlaku karena disana  benar atau salahnya suatu hal tidak dapat benilai absolud atau universal, sesuatu dapat menjadi benar jika mayoritas ataupun pihak berkuasa saat itu menyatakan benar hal itu dan sesuatu bisa menjadi salah jika mayoritas dan pihak berkuasa menyatakan hal itu salah.


Referensi :
Buku Filsafat Ilmu - Dr. Akhyar Yusuf Lubis
www.philosophypages.com
catatan kuliah filsafat ilmu
pemikiran sendiri

Filsafat Ilmu sedikit pembahasan mengenai buku the grand design

Nama : Dimas Rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Filsafat Ilmu
Pada kesempatan kali ini saya akan membahas suatu buku yang berjudul "The Grand Design" yang di buat oleh Stephen Hawking. Pembahasan ini bertujuan untuk perbaikan nilai dalam mata kuliah filsafat ilmu. Dalam buku ini, singkatnya Stephen Hawkin sepertinya ingin menjelaskan tentang asal-usul jagad raya. Awal terbentuknya jagad raya dan bagaimana terbentuknya.
Bagi Stephen Hawking dalam M-Theorynya, jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya, melainkan ada banyak jagat raya yang diciptakan dari ketiadaan. Penciptaan banyak jagat raya tidak memerlukan intervensi suatu makhluk supernatural atau allah melainkan muncul dengan sendirinya dari hukum fisika, terprediksikan oleh sains.
Dalam buku ini yang membuat saya tertarik adalah ketika Stephen Hawking menjelasakan tentang "The Game of Life" ini bukanlah sebuah game tapi merupakan suatu hukum yang mengatur jagad raya. Hukum dalam game ini dijadikan sebgai contoh untuk menjelaskan tentang realita dan ciptaan. Dalam hukum ini, jagad raya dianggap sebagai papan catur yang melebar tanpa batas. Lalu ketika jagad raya ini mulai membentuk kondisi awal maka yang menentukan selanjutnya kedepan adalah hukum-hukum dalam jagad raya itu sendiri.
Namun pada bagian terakhirnya muncul pertanyaan, bagaimana seluruh jagat raya dapat diciptakan dari ketiadaan? Jawabannya tidak lain karena ada suatu hukum seperti gravitasi. Tetapi jawabany seperti itu malah terasa aneh bagi saya, bagaimana dengan benda-benda langit seperti bintang-bintang dan lubang-lubang hitam tidak mungkin itu muncul begitu saja dari ketiadaan. Tetapi bagi Stephen Hawking itu semua karena ada suatu hukum seperti gravitasi, jagat raya dapat ada dan akan menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan. Penciptaan spontan adalah alasan mengapa ada sesuatu ketimbang tidak ada apapun, mengapa jagat raya ada, dan mengapa kita ada.
Dari penjelasan tersebut saya masih merasa bingung, saya merasa masih ada sesuatu yang hilang atau tidak terjelaskan. Seperti bagaimana sesuatu keadaan yang disebut ketiadaan tiba-tiba bisa muncul hukum gravitasi? Apakah ini semua terjadi hanya karena kebetulan? Atau hanya karena kondisi dan keadaan yang mendukung maka secara tiba-tiba jadi? Benarkah kehidupan muncul dengan cara seperti itu? Saya merasa kalo ini agak absurd. Bagaimana mungkin suatu keadaan yang tidak ada apa-apa menjadi ada apa-apa dengan segala kekompleksannya.
Anggap saja begini, jika dari keadaan yang tenang dan seimbang seperti ketiadaan itu lalu secara tiba-tiba ada sentuhan lain yang mengacaukannya (garvitasi) maka dari mana asal sentuhan itu? Lalu setelah mereka berdua, baru munculah energi-energi baru. Lalu entah mungkin karena mereka saling berbenturan, bermutasi, atau bertransformasi. Saya tidak tau secara pasti tetapi banyak teori yang menyebutkan seperti itu namun faktanya belom pernah ada yang bisa membuktikannya kalo suatu energi seperti atom misalnya dapat bermutasi atau bertransformasi. Nah, singkatnya para energi ini ada berubah menjadi berbagai macam bentuk, salah satunya menjadi protein misalnya lalu protein berubah menjadi manusia. Masalahnya manusia ini adalah mahluk hidup, dia berpikir, dan dia dapat mengingat. Masalahnya bagaimana mungkin suatu energi atau zat bisa  melakukan itu? Dan yang paling parahnya lagi bagaimana dengan masalah kesadaran? Dari mana asalnya kesadaran manusia ini? Apakah mungkin sauatu energi dapat memunculkan kesadaran? Apakah jangan-jangan energi itu sendiri adalah pecahan dari kesadaran? Jika begitu maka pasti ada suatu kesadaran yang tingkatnya lebih tinggi lagi dari jagad raya ini sendir. Jika para energi yang jumlahnya sangat banyak itu mampu membuat manusia dan mahluk hidup lain, bukan tidak mungkin pastinya ada mahluk hidup lain di luar sana yang bisa jadi lebih hebat dari manusia.
Jika asumsi ini logis, lalu bagaimana dengan sesuatu yang menghasilkan energi ini tadi? Jangan-janga memang dari awal sudah ada yang memiliki kesadaran. Jika iya, maka mungkin saja ada kesadaran lain yang levelnya lebih tinggi karena bahan pembentuknya pasti lebih komplek. Lalu muncul lagi pertanyaan baru, dari mana datangnya sesuatu yang memiliki kesadaran luar biasa ini? Akan terus ada pertanyaan tentang sebab akibat. Maka dari itu tidak ada salahnya jika sebagian orang ada yang menganggap bahwa si energi paling awal dan kuat ini adalah Tuhan.
Jika begitu, bagi saya yang menganut paham pantheism dan jika memang yang menyebabkan semua ini adalah si energi itu maka energi itu sepertinya hanya melakukan transformasi dari dirinya sendiri. Bagaimana jika si ketiadaan itu sendirilah adalah energi itu lalu dia mentransformasikan dirinya yang seakan-akan seperti ada gaya dari luar lalu dari itu semua muncul atau menyebarlah energi-energi itu. Dan selanjutnya seperti yang tadi saya jelaskan, energi itu saling berkontraksi, bermutasi lalu berubah menjadi berbagai macam hal lainnya hingga jadilah manusia seperti kita sekarang ini. Maka analoginya seperti ini, jika kita mengambil air laut dengan ember dan membawanya ke rumah, apakah air di dalam ember tersebut tidak bisa dikatakan sebgai air laut lagi? Jika boleh maka tidak ada salahnya jika kita juga bisa menganggap bahwa diri kita sendiri adalah tuhan.
Maka bagi saya justru salah jika menganggap bahwa jagad raya ini tercipta dari ketiadaan karena sesungguhnya ketiadaan itu sendiri adalah energi itu. Jadi alam sebenarnya tidak pernah diciptakan tetapi hanya ditransformasikan dari enerji awal itu tadi. Semua ini adalah bagian darinya, dan bukanlah ciptaan dari siapapun.

Referensi :
Buku Stephen Hawking "The Grand Design"

Pemikiran sendiri

Filsafat Modern

Nama: Dimas Rizky Akbary
NPM: 1306371400
UTS: Filsafat Modern
Filsafat Modern adalah salah satu mata kuliah dalam jurusan filsafat, mata kuliah ini membahas tentang pandangan, metode, teori, serta pemikiran para filsuf pada masa abad modern. Kali ini saya akan membahas secara ringkas tentang Subjektivitas, Pengetahuan, Negara dan Realitas dari beberapa filsuf pada masa itu. Pembahasan ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi ujian tengah semester.
·         Subjektivitas oleh Rene Descartes
Rene Descartes adalah seorang filsuf, matematikawan  Perancis dan penulis. Dia dijuluki "Bapak Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern".  Rene Descartes lahir  31 Maret 1596 di Prancis dari sebuah keluarga borjuis. Ketika ia berusia satu tahun, ibunya Jeanne Brochard meninggal. Ayahnya Joachim adalah anggota dari Parlement of Brittany di Rennes, Parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun.
Teori subjektivitas dari Descart adalah dualisme, dia menganggap bahwa mind dan body adalah dua hal yang berbeda, Descartes mengembangkan sebuah teori bahwa jiwa adalah imaterial, substansi non ekstensi yang terlibat dalam berbagai kegiatan seperti pemikiran rasional, khayalan, perasaan dan keinginan. Materi atau substansi ekstensi tunduk dalam hukum-hukum fisika dalam kerangka mekanistik dengan perkecualian tubuh manusia yang dipercaya. Descartes dipengaruhi oleh pikiran manusia dan mengakibatkan keadaan mental tertentu. Contohnya seperti tangan kita yang terpukul oleh palu pada jari menyebabkan rasa sakit di pikiran. Bagian dari teori Descartes yang bersifat dualistik inilah memunculkan permasalahan bagaimana interaksi sebab akibat diantara keduanya ini menjadi mungkin. Bagi Descart, dia mengklaim bahwa pikiran dan tubuh berinteraksi di glandula spienalis yang terletak di ruas tulang belakang.
·         Pengetahuan oleh Rene Decartes
Pada penjelasan pengetahuan, Menurut Rene Descartes pengetahuan adalah sesuatu yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua pengetahuan yang ada hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa ada tiga pengetahuan yang bisa diragukan, yaitu:
- Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Contohnya seperti kayu lurus yang dimasukkan ke dalam air maka akan kelihatan bengkok.
- Fakta umum tentang dunia seperti api itu panas dan benda yang berat akan jatuh.
- Prinsip-prinsip logika dan matematika. Ia menyatakan bagaimana jika ada seorang makhluk yang bisa memasukkan ilusi ke dalam pikiran kita, seperti di dunia matrix.
Menurut Decrates, eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya. Oleh karena itu tidak dapat diragukan lagi jika pikiran itu eksis. Sedangkan pikiran menurut Descartes adalah suatu benda berpikir yang bersifat mental, bukan bersifat fisik atau material.
·         Negara oleh Thomas Hobbes dan Jhon Locke
Thomas Hobbes adalah filsuf yang lahir di Inggris pada tahun 1588-1679. Dia adalah pemikir yang lahir pada masa perang. Dia memberikan sumbangan pemikiran yang sosial-politik. Ia menulis buku yang berjudul Leviathan yang menjelaskan pandangannya tentang kehidupan manusia didalam kodratnya yang bersifat "terpencil, miskin, kejam, dan memiliki sifat kebinatangan. Sedangkan Jhon Locke telah saya bahas latar belakanya pada bagian sebelumnya. Teori dari kedua tokoh ini mengasumsikan adanya keadaan alamiah yang terjadi sebelum manusia mengenal negara. Keadaan alamiah itu merupakan keadaan dimana manusia masih bebas, belum mengenal hukum dan masih memiliki hak asasi yang ada pada dirinya. Akan tetapi karena akibat pekembangan kehidupan yang menghasilkan kompleksitas kebutuhan maka manusia membutuhkan sebuah kehidupan bersama.  Dimana dibentuk berdasarkan perjanjian bersama untuk menyerahkan kedaulatan kepada sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan bersama tersebut.
Perbedaan antara Hobbes dan Locke adalah pada penyerahan hak dalam kontrak social. Menurut Hobbes masyarakat harus dengan mutlak menyerahkan seluruh haknya kepada pemerintah, sedangkan menurut Locke ada hak-hak yang tidak bisa diserahkan manusia kepada pemerintah yaitu life, liberty dan estate
·         Realitas oleh Jacques Rousseau.
Jean-Jacques Rousseau lahir 28 Juni 1712 di Jenewa, Swiss. Rousseau berpendapat bahwa manusia mempunyai keadaan alamiah atau keadaan asli dalam dirinya sebagai suatu individu yang bebas atau merdeka tanpa adanya suatu intervensi atau paksaan dari manapun. Meskipun manusia memiliki kebebasan tetapi mereka tidak menaklukkan sesamanya karena sifat alami manusia yang netral yaitu tidak baik dan tidak buruk.
Menurut Rousseau, manusia abad pencerahan sudah mengubah dirinya menjadi manusia rasional. manusia rasional hanya mementingkan factor material untuk memenuhi kebutuhan dirinya. factor-faktor non-materail berupa perasaan dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya bergerak menurut rasionya saja. Abad Pencerahan menurut Rousseau adalah abad pesimisme total. Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan dekadensi moral dan budaya .Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia, baik itu alam maupun manusianya sendiri. Oleh sebab itu, Rousseau berpikir bahwa manusia seharusnya kembali pada kehidupannya yang alamiah yang memiliki emosi dan perasaan untuk mencegah dan terhindar dari kehancuran total. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal dari aliran Romantisme yang berkembang di eropa.


Sumber:
Catatan Kuliah
Buku filsafat Ilmu (Dr. Akhyar Yusuf Lubis)
PPT Kuliah
Pemikiran Sendiri
http://kolom-biografi.blogspot.com

Metafisika (Konsep Realitas dan Univesalitas)

Nama : Dimas Rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Metafisika (Konsep Realitas dan Univesalitas)
Realitas? Seperti pada kebanyakan orang ditanya tentang apa itu realitas maka jawaban terbaik mereka mungkin adalah seperti ini "realitas itu adalah kenyataan, hal yang terlihat, terjadi, tertempat, dan mungkin juga terwaktu". Tapi apa benar itu realitas? Bagaimana dengan sesuatu yang tidak kita lihat tetapi itu ada dan terjadi, Apakah itu juga disebut sebagai realitas?
Inilah masalah yang sering kita bingungkan, menurut saya problem pertamanya adalah si subjek yang merasa dirinya paling agung yaitu manusia. Manusia selalu merasa bahwa dirinya adalah sesuatu yang paling bisa, paling tau, paling terpercaya dan lain-lain. Padahal kenyataanya siapa yang tau? belum ada satupun hal yang bisa menjamin sesuatu itu adalah pasti. Manusia selalu menganggap ada yang pasti, ya jika itu dari pandangan manusia. Tapi apa cuman manusia yang hidup di dunia ini? Tentu saja tidak. Realita bukanlah suatu pandangan semata, realita adalah univesalitas itu sendiri. Realita bukanlah hanya sekedar karena adanya faktor ruang dan waktu, tetapi realita adalah ruang dan waktu itu sendiri.  
Jika kita bisa melihat dengan mata semua mahluk di dunia ini apakah kita sudah berarti dapat melihat realita? Jawabannya adalah belum. Realita juga bukan hanya sekedar pandangan dari subjek belaka, tapi juga objek. Lalu maksud sebenarnya realita itu adalah apa? Realita itu adalah "satu", satu dari seluruh keseluruhan dalam artian realita itu hanyalah ada satu. Apa itu? "The World" itulah realita. Dunia adalah realita yang sesungguhnya, tentu yang saya maksud dunia disini bukan sekedar dunia yang kita sebut bumi, dunia ghaib, dunia paraler, dunia robot, dunia langit dan dunia lain atau dunia binatang seperti nama sebuah salah satu acara televisi. Yang saya maksud lebih dari itu semua, tetapi dunia disini adalah suatu yang lebih abstrak.
Kita semua manusia boleh bilang kalo bumi itu bulat karena itu adalah pandangan kita terhadap bumi, tapi apakah benar bagi mahluk lain bumi itu bulat, seperti serangga, atau virus? Analoginya kira-kita seperti ini, Jika kita membawa virus itu keluar angkasa lalu kita suruh melihat bumi, apa dia akan melihat bumi itu bulat sebagaimana kita melihat juga? Jawabanya belum tentu dan siapa yang tau? Bisa jadi kalo si virus bisa bicara dia malah akan bilang kalo bumi itu panjang atau kotak atau apalah. lantas kalau begitu realitas tidak satu tetapi beragam? Jawabanya tidak, cara pandang mereka memang berbeda tetapi realitas mereka tetap satu yaitu bumi itu sendiri, mereka sama-sama tau kalo ada yang namanya bumi. Berarti realita hanya karena ada saja? Bagaimana yang tidak ada? Ya itu tetap realitasnya, kita tau kalo ada yang tidak terlihat, ada yang tidak ada, ada yang ada tapi tidak ada, itu tetaplah merupakan realitasnya. Adanya dunia yang tidak ada tetap saja kata-kata itu menunjukan bahwa realitanya satu yaitu "Dunia". Adanya yang tidak ada ya tetap saja itu menujukkan realita adanya sesuatu yang tidak ada entah itu sebuah konsep pemikiran, ada secara nyata atau tidak dan apaun itu, tetap saja itu menunjukkan kalo anda sedang membuat suatu bentuk realitas. Maka realitas itu tetap satu "The World"


Referensi :

Pemikiran saya sendiri
Obrolan bersama teman
ceramah dosen dalam kuliah

moral

Nama Dalam Kelompok : Ardian Bayuatmaja
                                         Dimas Rizky Akbary
                                         Mutia Agroli
                                         Adrian Ray
                                         Dianali Pitasari
Tugas : Review  Pemahaman Etika di Kelas Bu Gadis (bagian II)
Pembahasan kali ini adalah "moral", moral seperti yang kita tau adalah suatu tundakan yang mengacu pada baik atau buruknya tindakan tersebut. Moral berasal dari kata "mos/mores" (bahasa latin) yang artinya adalah kebiasaan. Jadi menurut kami, moral merupakan tingkahlaku yang kita perbuat sehari-hari, ada yang baik dan ada juga yang buruk, itulah moral.

Namun yang mau kami beri tau adalah pengertian moral dari beberapa para ahli, yaitu ada Robert C. Martimor, Arthur Schopenhauer, dan Kant. Tiga orang ini memiliki pandangan berbeda mengenai apa yang disebut dengan moral serta penjelasannya mengenai moral tersebut.

Pertama adalah penjelasan Moral menurut Robert, menurutnya moral adalah sesuatu yang berasal dari tuhan karena manusia yang baik adalah manusia yang mengikuti ajaran tuhan. Jadi apa itu moral ya moral adalah bagian dari tuhan, kalo kita berbuat baik maka kita sudah mengikuti aturan tuhan. Sepertinya Robert adalah orang yang sangan percaya dengan tuhan karena bagi dia, hidup harus berdasarkan dengan apa yang kita percaya. Menurut Robert ada beberapa pondasi agama yaitu : tuhan sebagai pencipta, apa yang benar adalah perintah tuhan, kitab sebagai manual cara hidup, menjalankan tutunan tuhan, dan tuhan adalah pelindung manusia.

Lalu ada Arthur schopenhauer, sebenarnya ia adalah yang sangat bertolak belakang dengan Robert, menurutnya moral adalah hasil dari akal sehat dan tindakan rasional bukan dari tuhan ataupun agama. Intinya Arthur sangat menolak dengan apa yang disebut moral sebagai sesuatu yang berasal dari tuhan. Namun dari info yang kami dapat ada beberapa anggapan bahawa Arthur menyatakan pada dasarnya manusia itu egois. Egoisme itulah yang melahirkan penderitaan. Untuk menghilangkan penderitaan itulah manusia harus melepaskan egoismenya, melepaskan diri dari kehendak, dan jalan moralitas adalah salah satu jalan pelepasan kehendak. Manusia harus melepaskan egoismenya dan menolong orang sebanyak yang dia mampu.

Lalu yang terkhir adalah Kant. Kant tidak menyinggung ataupun memihak kepada Robert atau Athur, melainkan ia membuat sendiri pendapatnya mengenai moral. Baginya moral adalah suatu kewajiban, manusia harus meyakini adanya validitas moral. Menurutnya orang baik bukan karena orang lain ataupun tuhan, tetapi orang baik karena akal sehat. Dan menurutnya, tindakan moral dilakukan bukan karena ada konsekuensi tetapi karena ada kewajiban. Kewajiban terhadap diri sendir dan kewajiban terhadap rang lain.

Sebenarnya, menurut kami moral itu sendir bukanlah suatu ajaran tuhan, suatu pemikiran rasional, ataupun kewajiban. Menurut kami moral adalah suatu tindakan yang dimana sifatnya adalah relatif yang artinya dinilai dalam ruang lingkup sosial, baik buruknya suatu moral ditentukan juga oleh ruang lingkup tersebut. Moral bukanlah suatu hal yag hakiki atau tetap, moral adalah bagaimana kita meletakkan diri dalam ruang lingkup, menjaga tindakan, dan memahaminya.

Referensi:
Diskusi Kelompok
Catatan kuliah

 





Perempuan, Laki – Laki & Robot (conciousness)

Nama   : Iqraa Runi Aprilia
NPM   : 1306371413

Perempuan, Laki – Laki & Robot (conciousness)
            Pada tugas kali ini saya akan membahas tiga perbedaan bentuk kesadaran pada laki – laki, perempuan dan juga robot, mengapa saya sebut perbedaan karena bentuk kesadaran pada laki – laki, perempuan dan juga robot memang berbeda bagi saya. Bagi saya walaupun perempuan dan laki – laki memiliki sebuah payung yang sama yakni ‘manusia’ bahwasanya perbedaan pada laki – laki dan perempuan juga ada pada kesadarannya, bagi saya laki – laki lebih condong memiliki kesadaran dengan segala urusannya dengan rasio sedangkan perempuan lebih condong kepada perasaan. Pada fase ini banyak pertentangan ketika saya bilang bahwa ‘perempuan memiliki kesadaran yang lebih condong kepada perasaan’ karena pasti kaum pemikir perempuan seperti feminis akan beranggapan bahwa saya sedang menjatuhkan martabat perempuan tetap bagi saya tidak karena sampai saat ini tidak ada tingkatan atas rasio maupun perasaan sehingga perempuan dapat dengan mudah masuk kepada akar kesadaran melalui perasaan. Berbeda dengan laki – laki yang kerap kali lebih condong menggunakan rasio sehingga kasarnya apapun yang dilakukan harus terlihat wajar dan tidak berlebihan.

            Kesadaran pada robot terutama yang ada di film menurut saya robot memiliki kesadaran karena proses berpikir, sampai saat ini saya sebenarnya percaya  bahwa  robot memiliki kesadaran atas dirinya sendiri, melalui proses berfikir yang diupayakan manusia melalui perkembangan IT maka terbentuklah kesadaran yang dihasilkan dari proses berpikir dimana bentuk usaha atas kesadaran buatan yang diupayakan menjadi kenyataan. Sehingga kerja kesadaran buatan mempengaruhi perasaan dan juga daya hidup atas suatu benda maupun mahkluk.  

Metafisika (membedakan laki-laki, perempuan, dan mesin dari problem kesadaran)

Nama : Dimas Rizky Akbary
NPM : 1306371400
Tugas : Metafisika (membedakan laki-laki, perempuan, dan mesin dari problem kesadaran)
Masalah yang saya bingungkan disini adalah apa yang dimaksud dengan kesadaran itu sendiri? Mengapa itu dikaitkan dengan mesin? Apakah mesin juga memiliki kesadaran? Jika punya maka hal yang dimaksud dengan kesadaran itu adalah suatu kumponen yang sangat sederhana menurut saya. Apa sebenranya yang membuat kesadaran? Dimana letaknya? Jika mesin juga punya kesadaran maka kesadaran itu pasti adalah suatu materi.
Kalo begitu, jika memang laki-laki, perempuan, dan mesin dapat dibedakan dari problem kesadaranya maka yang membedakannya itu adalah jumlah informasi dari kesadarannya. Menurut saya jumlah informasilah yang membedakan antara tiga hal ini. Jumlah informasi maksud saya disini bukanlah suatu hal yang hanya sekedar info-info atau kapasitas pengetahuan mereka, tapi lebih dari itu semua. Jumlah informasi disini bisa meliputi segala sesuatu seperti warnanya, partikelnya, panjang zatnya, banyak zatnya, faktor pendukungknya, dan berbagai macam hal lainnya.
Jumlah informasi bagi saya adalah suatu hal yang paling dominan dalam berbagai macam hal. Dia adalah komponen yang paling bisa membuat segala sesuatu menjadi apa saja. Jika dua hal memiliki jumlah informasi yang berbeda maka sudah dipastikan dua hal itu adalah suatu yang berbeda. Lalu bagaimana jika hal itu sama maka kedua hal itu pasti adalah suatu hal yang sama. Disinlah letaknya pointnya bagi saya, apa yang membuat laki-laki dan perempuan itu berbeda ya adalah jumlah informasi dari kesadaranya, dan apa yang membuat berbeda juga dari mesin juga adalah itu.

Referensi:

Pemikiran diri sendiri

Metafisik (Pemecahan kasus identitas kapal)

Nama : Dimas Rizky Akbar
NPM : 1306371400
Tugas : Metafisik (Pemecahan kasus identitas kapal)
Pembahsan kali ini mengenai suatu kasus identitas yang cukup rumit, ceritnay ada sebuah kapal. Kapal ini adalah kapal pak Jokowi yang berlabuh dari Tanjung Priok menuju ke Makasar yang ditempuh dengan waktu lima tahun. Kapal ini ceritanya terbuat dari kayu yang mudah sekali rusak apalagi jika terlalu lama terkena air laut, jadi setiap beberapa kali kapal ini selalu mengalami renovasi dalam perjalanannya. Pertama kayu bagian lambung kapal yang rusak, setelah direnovasi dengan kayu yang sama namun baru lalu kayu yang bekas tadi di buang ke laut. Besoknya kayu bagian bendera yang rusak, diganti lagi dengan kayu baru namun dengan jenis yang sama dan kayu yang lama tadi di buang lagi ke laut. Hingga begitu seterusnya sampai semua bagian dari kapal tersebut telah direnovasi, setelah lima tahun akhirnya kapal Jokowi yang telah melalui renovasi itu sampai juga di Makasar. Pertanyaanya, apakah itu benar kapal Jokowi?
Tanpa diketahui sebelumnya saat berlayar, ternyata ada beberapa orang yang mengikuti kapal Jokowi tersebut dari belakang sambil mengumpulkan puing-puing kayu bekas renovasi kapal Jokowi  yang dibuang kelaut. Dari sisa puig-puing kapal itu mereka buat sebuah kapal yang bentuknya sama persis dengan kapal pak Jokowi. Dan ternyata kapal tersebut juga sama-sama sampai di Makasar. Berarti ada dua kapal yang sama persis di Makasar saat itu. Pertanyaanya, mana kapal Jokowi yang asli?
Kemungkinan akan ada dua jawaban yang berasal dari orang-orang Makasar saat itu. Pertama suatu pihak akan mengatakan bahwa kapal yang datang bersama Jokowilah yang merupakan kapal asli Jokowi. Tapi satu pihak lainya mungkin akan menganggap bahwa kapal Jokowi yang asli justru adalah kapal yang berasal dari puing-puing itu, karena kapal yang datang bersama Jokowi adalah kapal yang telah mengalami renovasi dari seluruh bagian kapal, sehingga kapal tersebut bukan lagi sebagai kapal Jokowi, melainkan kapal yang berbeda dari yang dia bawa saat di Tanjung Priok.
Lalu bagaimana dengan jawaban saya? Mungkin agak sedikit aneh, tapi jawaban saya juga ada dua. Pertama, keduanya bisa jadi merupakan kapal Jokowi dikarenakan kesamaannya. Kedua, justru sebenarnya tidak ada kapal yang asli disana. Yang ada hanyalah kapal yang memiliki kesamaan bentuk dan ciri.


Jumat, 09 Januari 2015

pembahasan saya tentang Feminism

Feminisme? Pertama kali saya mendengar kata feminisme adalah ketika awal-awal kuliah saat melihat macam-macam nama mata kuliah di jurusan saya. Dari namanya feminisme berarti feminim kali ya pikir saya, mungkin hal ini lebih mengacu kepada perempuan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan feminisme, walaupun tau itu adalah salah satu mata kuliah yang nantinya akan saya pelajari. Saya belum pernah sekalipun mencari tau atau mencoba memikirkan apa itu feminisme sampai pada suatu ketika dosen saya Tommy di kelas  matak kuliah budaya menjelaskan sedikit hal tentang feminisme.
Menurutnya semua itu berasal dari gender, gender adalah konstuksi sosial. Laki-lakilah yang mengkonstruksi itu dikarena kebudaan patriarki. Hal ini desebabkan karena adanya "misogini" semacam kebencian laki-laki kepada perempuan karena di anggap sebagai sesuatu yang menjatuhkan diri mereka kedalam dosa. Dengan begitu perempuan di anggap sebagai objek pasif yang diam sedangkan laki-laki adalah sebagai subjek yang aktif, sehingga secara tanpa disadari perempuan itu terpasung oleh laki-laki, laki-lakilah yang membuat agar perempuan dapat terlihat seperti yang bagaimana laki-laki inginkan. Makanya dulu jarang sekali ada perempuan yang bermain bola, perempuan dilarang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan saja seperti memasak dam mebersihkan rumah. Nah, dari itu semua munculah apa yang disebut sebagai "feminisme" yang ingin melawan interpretasi yang menganggap perempuan selalu di belakang.
dari sini saya akan memberikan beberapa kasus tentang feminisme. Kasus pertama adalah kasus gerbong kerete khusus perempuan. Ada apa dengan gerbong kereta perempuan? Justru itulah masalahnya. Apa maksud dari gerbong khusus perempuan ini? Apakah ini sebuah upayah perlindungan terhadap perempuan? Atau malah merendahkan perempuan itu sendiri dengan arti bahwa perempuan itu lemah dan ingin dilindungi? Ketika hal itu ditanya kepada salah satu kaum feminis dia menganggap bahwa sebetulnya gerbong khusus perempuan itu malah merendahkan mereka sebagai perempuan, dia mengaku tidak pernah masuk kedalam gerbong khusus perempuan dengan alasan hal seperti itu malah justru menampilkan perbedaan, dimana sebagai feminism adalah ingin adanya kesetaraan bukan pembedaan seperti itu, bahkan terkadang didalam gerbong khusus prempuan itu sendiri masih terjadi konflik antara sesama perempuan. Lalu bagaimana dengan kasus ini, jika ada perempuan yang masuk ke gerbong kereta umum, lalu meminta kepada laki-laki untuk mengalah kepadanya untuk dapat duduk karena dia perempuan? Jawabannya gampang, mungkin dia tidak tau dangan feminism. Jika itu saya maka saya tidak akan pernah meminta untuk melakukan itu dan lebih memilih untuk berdiri.
tapi bagaimana jika kasusnya begini. Ada seorang yang mengaku sebagai feminism, dia sedang kuliah di salh satu perguruan tinggi dengan jurusan arsitek. Dia menganggap bahwa dirinya adalah seorang arsitek feminism dengan karya-karya arsiteknya yang lebih banyak menampilkan liukan, lengkungan yang menonjolkan sisih perempuannya. Dalam kasus ini saya merasa kalo dia malah justru membuat perbedaan antara suatu karya arsitektur. Bukankah dalam feminism seharusnya tidak ada pembedaan? Kenapa hasil karya artsitektur yang banyak liukan disebut sebagai feminism?  Bukankah laki-laki juga bisa membuat itu? Saya merasa aneh disini, feminism tidak ingin adanya perbedaan namun dia sendiri membuat pembedaan yang seakan-akan ingin dikhususkan? Padahal ketika kita khususkan, kita berikan apa yang dia mau, suatu ketika dia berpikir bahwa justru itu malah merendahkan mereka.
Satu kasus lagi yang berasal dari teman saya sendiri. Ketika saya menjelaskan tentang feminism kepadanya, seketika dia bertanya dengan sebuah pertanyaan simpel yang cukup menarik. "kim, jika kita para laki-laki yang membuat konstruksi dan membuat perempuan itu menjadi apa yang kita mau, lantas kenapa gue selalu di atur-atur oleh pacar gue? Gue kalo ke tempat dia selalu disuruh untuk memakai baju kemeja. Katanya cowok akan terlihat gagah kalo make baju kemeja. Gue jadi merasa kalo dialah yang mengkontrusi gue sehingga terlihat seperti apa yang dia mau." Mendengar itu saya hanya menjawab, ya itulah konstruksinya. Itu adalah hasil dari kontruksi yang mengkonstruksi. Saat kecil dia telah dikonstruksi oleh orang tuanya tentang bagaimana lingkungan sosial, bagaimana pakaina laki-laki dan pakaian perempuan, mungkin saja secara tidak disadari waktu kecil ia telah diberi tau kalo laki-laki yang gagah itu adalah yang memakai kemeja, dengan begitu sampai ia besar saat dia punya pacar, ia ingin kalo pacarnya juga terlihat gagah dengan menyuruhnya selalu memakai kemeja.

Dari semua itu saya mengira, jangan-jangan feminism itu sendiri adalah konstruksi. Kita mengkonstrusi perempuan dan perempuan yang tidak mau dikonstruksi membuat suatu konstruksi baru lagi disebut feminism yang mengkonstruksi dirinya sendiri?
terkadang saya sendiri merasa ada kemunafikan didalam feminism, seakan kalo ini gak mau dibedain tetapi pada dasarnya diri mereka itu memang berbeda. Teman saya pernah bilang kalo sebenarnya laki-laki dan perempuan itu berbeda dikarenakan ada semacam sel atau neuron didalm otaknya yang berbeda. Dari hal tu saya mempunya analogi bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan itu ibarat sebuah timbangan antara 1kg batu dan 1kg kapas, dari cara pandang pihak ketiga mereka berdua memang terlihat seimbang karena memiliki berat yang sama namun pada dasarnya mereka berbeda itu sendiri berbeda karena yang satu batu dan yang satu lagi adalah kapas. saya sendir pada dasarnya tidak pernah mebeda-bedakan ataupun merendahkan derajat perempuan, kita sama-sama memiliki tangan, kaki, mata dan berbagai lainnya yang gunanya juga sama.  Ya kita memang sama tapi secara tidak langsung juga berbeda seperti menyusui dan melahirkan misalnya? Walaupun oke, jaman sekarang sudah canggih anggap saja laki-laki juga bisa melahirkan tapi pada dasarnya siapa? Tetap perempuankan? Saya disini tidak membedakan dan tidak juga mengkhususkan, saya lebih ingin menghargai satu sama lain, tidak peduli sama atau berbeda. Malah saya lebih merasa jika sebenarnya feminism inilah yang justru menghacurkan dan membuat konflik di antara keduanya. Pertanyaannya, jika feminism menolak perbedaan, mengapa malah membuat pembedaan itu sendiri (feminism)?

sedikit pembahasan kelompok mengenai feminsm

Kelompok 2 - “FEMINISME”
Astrila Ikhlasia                        Naufal Wibowo
Dimas Risky                            Margareth Wilson
Faishal Alrafi                          Muhammad Adinegoro
Frandy Antony                       Sindy
Iqraa Runi A

1.      Feminisme
            Teori mengenai feminis seringkali dideskripsikan sebagai analisis tekstual mengenai konstruksi, bayangan dan penelitian. Hal ini menyimpulkan bahwa perempuan akan memiliki reaksi dan pengalaman yang berbeda terhadap pria dan berusaha untuk mencapai atau mengonstruksi perpektif wanita untuk menghindari gender-bias dalam hasilnya. Hal ini juga bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana gender dapat mempengaruhi politik, sejarah bahkan literature yang tentu saja dihasilkan dari berbagai perspektif perempuan. Penelitian feminis adalah penelitian yang dilakukan oleh perempuan untuk mengidentifikasi feminis. Permasalahan feminis yang menyangkut ‘apa’, ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ adalah permasalahan feminis yang diteliti berdasarkan pengalaman perempuan di dalam paradigma patriarki.
Feminisme dikembangkan oleh perempuan, tetapi memiliki pengaruh terhadap kedua pihak, baik pihak pria maupun perempuan. Paradigma ini berusaha mengkritisi, mengevaluasi kembali, dan berusaha melakukan transformasi kedudukan perempuan dalam kebudayaan. Teori ini didasarkan dari asumsi bahwa organisasi sosial dan kebudayaan telah didominasi oleh pria yang mengesampingkan perempuan.
            Sebuah kepercayaan yang dimiliki oleh seluruh kaum feminis adalah adanya sebuah prasangka bahwa perempuan adalah kaum yang ditekan atau tertekan. Berdasarkan asumsi atau kepercayaan tersebut muncul sebuah permasalahan, bahwa terdapat sebuah perlakuan yang salah terhadap perempuan di dalam komunitas. Hal ini bukan ‘pengetahuan untuk dirinya sendiri’ melainkan pengetahuan yang dipergunakan untuk merubah dan meningkatkan kondisi dari kaum perempuan.
Perspektif feminis pertama kali berkembang sekitar tahun 1970 untuk melawan bias pria dalam formulasi, konsep, teori, bahkan metode dan interpretasi dalam berbagai hal. Terdapat beberapa teks pada tahun 1800an yang memperlihatkan pandangan kaum feminis, tetapi tidak pernah diperhatikan pada saat itu, baru pada tahun 1970, teks tersebut diperhatikan. Dasar dari teori feminism adalah untuk menemukan bukti mengenai sejarah dan kebudayaan yang tidak adil terhadap kaum perempuan untuk mendapatkan kedudukan perspektif matriarki yang mungkin telah hilang atau tidak pernah diperhatikan. Secara teoritikal, feminism bertujuan untuk menginterpretasi ulang pandangan patriarki yang seringkali mengandung pendapat yang bias terhadap kaum patriarki, menyediakan sebuah perspektif yang baru dan akurat dari perspektif perempuan.
Teori mengenai feminis tidak hanya satu, beberapa percobaan dilakukan untuk mengerti pandangan mengenai perempuan dan pandangannya mengenai sosial, ekonomi dan politik di dalam komunitas. Teori feminis telah mencoba untuk menantang objektivitas dalam komunitas ilmu pengetahuan.

Teori feminism secara besar dapat dikategorisasikan menjadi tiga (3), yaitu :
1.                  Teori yang bertujuan untuk menyediakan pandangan feminis dalam menginterpretasi ulang sejarah dan literature untuk menyediakan perspektif perempuan yang akurat. Hal ini juga berisikan mengenai posisi feminis yang dialami oleh kaum perempuan(sebagai kaum yang tertekan).
2.                  Teori yang memiliki focus yang lebih esensial dan biasa dikenal juga dengan feminisme prancis dan Feminisme Psychoanalitis. Teori ini memperluas teorinya hingga postmodernisme sebagai pengetahuan yang lokal dan kontekstual dari pada universal dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada kriteria untuk mengklaim sebuah kebenaran.
3.                  Teori yang focus terhadap perbedaan seksual dan politik, biasa disebut sebagai studi gender dan feminisme sosialis. Teori ini mencoba untuk melakukan reformasi, dari pada mengganti perspektif ilmu pengetahuan yang tradisional.
Teori-teori tersebut adalah teori feminism yang menolak kepercayaan bahwa perbedaan antara pria dan perempuan dikonstruksi melalui peradaban. Feminisme menganggap bahwa perbedaan ini muncul dari perbedaan sifat manusia. Kerjasama dan kompetisi, oleh karena itu tidak hanya nilai yang ditunjuk secara sosial terhadap pria dan wanita, tetapi nilai yang muncul secara fundamental mengenai perbedaan karakter akan kedua seks. Paradigma feminis mencoba untuk menantang ide tentang neutralitas di dalam penelitian ilmiah, bahwa pandangan individu dan pengalaman individu terbatas akan pengetahuan sang individu sehingga penelitian ilmiah tidak akan bersifat netral. Feminisme berguna untuk penelitian yang mengeksplorasi ilmu pengetahuan mengenai perempuan dan politik atau memperoleh sebuah pandangan baru mengenai pengalaman historis. Pandangan feminis akan ‘seks’ dan ‘jenis kelamin’ lebih menitikberatkan pandangannya terhadap pandangan sosial dari pada biologinya.
Metode feminis dapat diaplikasikan untuk menantang kebanyakan konsep sosial, terutama konsep yang bersifat netral, bahkan juga berguna dalam studi sosial, baik literature, sejarah, seni, kriminologi, mental bahkan studi alam seperti kesehatan, obat, aborsi, bahkan dalam konsep perang dan pendidikan sekalipun.
Feminisme berkembang setidaknya menjadi dua grup yang masing-masing memiliki klaim tertentu, yang satu adalah normative dan yang lain adalah deskriptif. Grup normative mengklaim bahwa perempuan seharusnya dipandang dan diperlakukan sebagai latar belakang konsep keadilan atau posisi moral yang lebih luas. Grup deskripsi mengklaim bahwa perempuan tidak diperlakukan sebagaimana standar keadilan atau moralitas yang telah dicetuskan oleh klaim normative. Klaim normative dan deskriptif bersama-sama menyediakan alasan untuk merubah keadaan, yaitu bahwa feminism tidak hanya sekedar bahan intelektual, namun juga gerakan politis.
Istilah 'feminisme' memiliki banyak kegunaan yang berbeda dan maknanya sering diperebutkan. Sebagai contoh, beberapa penulis menggunakan istilah 'feminisme' untuk merujuk ke sebuah gerakan politik historis tertentu di AS dan Eropa; penulis lain menggunakannya untuk merujuk pada keyakinan bahwa ada ketidakadilan terhadap perempuan, meskipun tidak ada konsensus pada daftar yang tepat dari ketidakadilan tersebut. Meskipun istilah "feminisme" memiliki sejarah, dalam bahasa Inggris terkait dengan aktivisme perempuan dari akhir abad ke-19 hingga saat ini, hal ini berguna untuk membedakan ide-ide feminis atau kepercayaan dari gerakan politik feminis, bahkan dalam periode di mana belum ada aktivisme politik yang signifikan sekitar subordinasi perempuan, orang telah peduli dengan teori dan keadilan bagi perempuan. Jadi akan masuk akal untuk bertanya apakah Plato adalah seorang feminis, mengingat pandangannya bahwa perempuan harus dilatih untuk memerintah (Republik, Buku V), meskipun ia adalah pengecualian dalam konteks historis. (Lih. misalnya, Tuana 1994.)
Pada pertengahan 1800-an istilah 'feminisme' lebih merujuk pada "kualitas perempuan", dan itu tidak sampai setelah Konferensi Internasional Pertama Perempuan di Paris pada tahun 1892 bahwa istilahféministeadalah istilah Perancis yang digunakan secara teratur dalam bahasa Inggris untuk kepercayaan dan advokasi kesetaraan hak bagi perempuan berdasarkan gagasan kesetaraan gender. Meskipun istilah "feminisme" dalam bahasa Inggris berakar pada mobilisasi untuk wanita dalam mempunyai hak pilih di Eropa dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-20 ke-19 dan awal, upaya untuk mendapatkan keadilan bagi perempuan tidak dimulai atau diakhiri dengan periode aktivisme. Sehingga beberapa pihak telah menemukan bahwa hal itu berguna untuk memikirkan gerakan perempuan di Amerika Serikat sebagai sesuatu hal yang terjadi di "gelombang". Pada model gelombang, perjuangan untuk mencapai hak-hak politik dasar selama periode dari pertengahan abad ke-19 sampai bagian dari sembilan belas Perubahan tahun 1920 dianggap sebagai "Gelombang Pertama" feminisme. Feminisme berkurang antara dua perang dunia, yang akan "dihidupkan kembali" pada akhir 1960-an dan awal 1970-an sebagai "Gelombang Kedua" feminisme. Dalam gelombang kedua ini, feminis terdorong untuk melampaui pencarian awal untuk hak-hak politik dalam memperjuangkan kesetaraan yang lebih besar di seluruh papan, misalnya, dalam pendidikan, tempat kerja, dan di rumah. Transformasi yang lebih baru dari feminisme telah menghasilkan "Gelombang Ketiga". Gelombang Ketiga feminis sering mengkritik Gelombang Kedua feminisme karena kurangnya perhatian terhadap perbedaan antara perempuan karena ras, etnis, kelas, kebangsaan, agamadan menekankan "identitas" sebagai situs perjuangan gender.
Namun, beberapa tokoh feminis keberatan mengidentifikasi feminisme dengan saat-saat tertentu aktivisme politik, dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan fakta bahwa telah terjadi perlawanan terhadap dominasi laki-laki yang harus dipertimbangkan "feminis" sepanjang sejarah dan lintas budaya: yaitu, feminisme tidak terbatas pada beberapa (Putih) perempuan di Barat selama abad terakhir ini. Selain itu, bahkan hanya mempertimbangkan upaya yang relatif baru untuk melawan dominasi laki-laki di Eropa dan Amerika Serikat, penekanan pada "Pertama" dan "Kedua" Gelombang feminisme mengabaikan perlawanan berkelanjutan untuk dominasi laki-laki antara tahun 1920-an dan 1960-an dan perlawanan luar politik mainstream, terutama oleh perempuan warna dan perempuan kelas pekerja (Cott 1987).
Salah satu strategi untuk memecahkan masalah ini adalah dengan mengidentifikasi feminisme dalam hal seperangkat ide atau keyakinan daripada partisipasi dalam gerakan politik tertentu. Seperti kita lihat di atas, hal ini juga memiliki keuntungan yang memungkinkan kita untuk menemukan feminis terisolasi yang karyanya tidak dipahami atau dihargai pada jaman itu. Tapi bagaimana caranya kita mengidentifikasi satu set inti keyakinan feminis? Ada yang menyarankan bahwa kita harus fokus pada ide-ide politik yang istilah ini tampaknya diciptakan untuk menciptakan komitmen untuk persamaan hak perempuan. Hal ini mengakui bahwa komitmen dan advokasi hak-hak perempuan belum terbatas Gerakan Pembebasan Perempuan di Barat. Tapi ini juga menimbulkan kontroversi, karena frame feminisme dalam pendekatan luas Liberal ke kehidupan politik dan ekonomi. Meskipun sebagian feminis mungkin akan setuju bahwa ada beberapa "hak" yang mencapai persamaan hak bagi perempuan adalah kondisi yang diperlukan feminisme untuk berhasil, sebagian besar juga berpendapat bahwa ini tidak akan cukup. Hal ini karena penindasan perempuan di bawah dominasi laki-laki jarang jika pernah terdiri hanya dalam merampas wanita politik dan hukum "hak", tetapi juga meluas ke dalam struktur masyarakat kita dan isi dari budaya kita, dan meresapi kesadaran kita (misalnya, Bartky 1990).
Apakah kemudian ada titik untuk menanyakan apakahfeminism itu? Mengingat kontroversi istilah dan politik circumscribing batas-batas gerakan sosial, kadang-kadang kita tergoda untuk berpikir bahwa yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah untuk mengartikulasikan satu set disjuncts yang menangkap berbagai keyakinan feminis. Namun, pada saat yang sama dapat baik secara intelektual maupun politis berharga untuk memiliki kerangka skema yang memungkinkan kita untuk memetakan (setidaknya beberapa poin) kami kesepakatan dan ketidaksepakatan. Kita akan mulai di sini dengan mempertimbangkan beberapa elemen dasar feminisme sebagai posisi politik atau set keyakinan. Untuk survei pendekatan filosofis yang berbeda dalam feminisme, lihat "Feminism, approaches to".

2.2 Komponen Normatif dan Deskriptif
Dalam banyak hal, feminisme memiliki dua bentuk klaim, yang pertama adalah normatif dan yang lainnya dalah deskriptif. Klaim normative mempertimbangkan bagaimana perempuan itu seharusnya (atau tidak seharusnya) untuk dipandang dan diperlakukan dan ditarik atas sebuah konsep latar belakang keadilan atau posisi moral; klaim deskriptif mempertimbangkan bagaimana perempuan itu, sebagaimana faktanya, dilihat dan diperlakukan, menuduh bahwa mereka tidak diperlakukan dengan standar kebenaran dan moralitas termasuk dalam klaim normative. Normatif dan deskriptif klaim, keduanya menyediakan alasan-alasan untuk bekerja dalam mengubah sesuatu; oleh karena itu, feminism bukan hanya sebuah pergerakan intelektual, tapi juga merupakan pergerakan politik.
Dalam pertimbangan ini, perempuan dan laki-laki seharusnya memiliki persamaan hak dan kehormatan adalah merupakan klaim normative; dan bahwa perempuan tidak diterima persamaan hak dan kehormatan dikenal sebagai klaim deskriptif. Klaim bahwa perempuan tidak diuntungkan dengan penghormatan terhadap hak dan penghormatan sendiri bukan merupakan sebuah klaim ‘deskriptif secara murni’ semenjak hal itu secara masuk akal mempengaruhi sebuah komponen evaluative. Bagaimanapun juga, poin kami di sini berangkat dari klaimbeberapa pertimbangan, yakni“apa kasusnya” bukan “apa yang seharusnya menjadi kasus.”
Penolakan terhadap feminisme bisa diperhatikan dengan memperhatikan klaim deskriptif dan normative, seperti misalnya, feminis membedakan pada apa yang akan diperhitungkan sebagai keadilan atau ketidakadilan bagi perempuan (apa ukuran sebagai ‘persamaan’, ‘tekanan’, ‘ketidakmampuan’, apa hak-hak yang seharusnya orang-orang terima?), dan ketidakadilan apa yang sebenarnya diderita oleh perempuan (aspek apa dari situasi perempuan sekarang ini yang dibilang membahayakan dan tidak adil?). Penolakan mungkin juga terdapat pada penjelasan tentang ketidakadilan: dua feminis mungkin sepakat bahwa perempuan secara tidak adil ditolak hak-hak dan kehormatannya dan secara substantive membedakan dalam perhitungan mereka mengenai bagaimana atau kenapa ketidakadilan terlihat dan apa yang dibutuhkan untuk mengakhirinya (Jaggar 1994).
Dalam usaha untuk menawarkan sebuah skema pertimbangan feminism, Susan James mengarakterisasikan feminism sebagai berikut:
Feminism is grounded on the belief that women are oppressed or disadvantaged by comparison with men, and that their oppression is in some way illegitimate or unjustified. Under the umbrella of this general characterization there are, however, many interpretations of women and their oppression, so that it is a mistake to think of feminism as a single philosophical doctrine, or as implying an agreed political program. (James 1998, 576)
James sepertinya di sini menggunakan pernyataan ‘opresi’ dan ‘ketidakmampuan’ sebagai tempat untuk perhitungan yang lebih substantive dari ketidakadilan (normative dan deskriptif) atas apa yang telah feminis tolak.
            Beberapa mungkin lebih mendefinisikan feminism dalam term dari sebuah klaim normative itu sendiri: feminis adalah mereka yang percaya bahwa perempuan ditakdirkan dalam persamaan hak, atau persamaan kehormatan, dan mereka yang tidak percaya bahwa perempuan pada dasarnya memang untuk diperlakukan secara tidak adil. Bagaimanapun juga, jika kita ingin mengadopsi terminology ini, hal ini akan menjadi lebih susah untuk mengidentifikasi beberapa sumber menarik dari ketidaksetujuan antara mereka yang mendukung dan tidak mendukung feminism, dan term ‘feminisme’ akan kehilangan banyak potensialnya untuk menyatukan mereka yang pertimbangan-pertimbangan serta komitment-komitmenya melebihi kepercayaan moral mereka menjadi interpretasi sosial dan afiliasi politik. Feminis bukanlah mereka yang diketahui memiliki prinsip dalam membela keadilan bagi perempuan; feminis mengambil bagian terhadap diri mereka sendiri untuk memiliki alasan dalam membawa perubahan sosial bagikehidupan perempuan.
2.3 Feminisme dan Keberagaman Perempuan
Untuk mempertimbangkan beberapa perbedaan strategi dalam merespon fenomena interseksionalitas, marilah kita kembali ke klaim skematik yang menyatakan bahwa perempuan ditekan dan tekanan ini salah atau tidak benar. Secara luas, seseorang mungkin mengarakterisasi tujuan dari feminism untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Tapi kita juga mengetahui bahwa perempuan ditekan bukan hanya dengan seksisme, tapi dalam banyak hal, seperti kelasisme, homophobia, rasisme, ageisme, ableisme dan lainnya, kemudian hal ini mungkin terlihat bahwa tujuan feminism adalah mengakhiri semua tekanan yang mempengaruhi perempuan, dan beberapa feminis mengadopsi interpretasi ini, (Ware 1970), dikutip dalam (Crow 200, 1).
Bagaimanapun juga, tidak semua setuju dengan sebuah definisi eskpansif dari feminism. Beberapa mungkin setuju bahwa feminis seharusnya bekerja untuk mengakhiri semua bentuk tekanan – tekanan itu tidak benar dan feminis, seperti kebanyakan orang, memiliki sebuah obligasi moral untuk melawan ketidakadilan – tanpa mempertahankan bahwa ini merupakan sebuah tugas dari feminism untuk mengakhiri semua tekanan. Beberapa mungkin bahkan percaya bahwa dalam menyukseskan tujuan feminism, sangat penting dalam memerangi rasisme dan eksploitasi ekonomi, tetapi pikirkan juga bahwa di sana terdapat sebuah tujuan feminis yang lebih sempit. Dengan kata lain, melawan tekanan yang terdapat dalam banyak bentuk mungkin sebuah instrument feminism, tetapi tidak intrinsic.
Bell Hook berargumen:Feminism, as liberation struggle, must exist apart from and as a part of the larger struggle to eradicate domination in all its forms. We must understand that patriarchal domination shares an ideological foundation with racism and other forms of group oppression, and that there is no hope that it can be eradicated while these systems remain intact. This knowledge should consistently inform the direction of feminist theory and practice. (hooks 1989, 22)even though it is currently (and virtually always) interlocked with other forms of oppression.
Pendekatan Hook tergantung pada klaim bahwa seksisme merupakan sebuah bentuk particular dari tekanan yang bisa dikenali dari bentuk-bentuk lainnya, seperti rasisme dan homophobia. Walaupun sekarang tujuan feminisme adalah untuk mengakhiri seksisme, karena relasi tersebut terhadap bentuk tekanan lainnya, walaupun hal ini akan membutuhkan usaha untuk mengakhiri bentuk tekanan lainnya juga. Sebagai contoh, feminis yang masih tergolong rasis tidak akan bisa sepenuhnya berapresiasi dampak luas dari seksisme dalam kehidupan perempuan yang memiliki kulit berwarna.Lebih jauh lagi karena institusi eksis juga, seperti rasis, kelasis dan homophobic, membongkar institusi seksis akan membutuhkan bentuk lain dari dominasi yang terjalin dengan mereka(Heldke and O'Connor 2004). Mengikuti pemikiran Hook, kita mungkin mengarakterisasi feminis secara skematik sebagai pandangan bahwa perempuan merupakan subjek terhadap tekanan seksis dan hal itu merupakan kesalahan. Pergerakan ini menggantikan titik berat penyelidikan kami dari sebuah karakterisasi terhadap apakah feminisme sebuah karakterisasi dari apa itu seksisme, atau tekanan seksis itu sendiri.
            Apa yang membuat sebuah bentuk particular dari tekanan seksis sepertinya tidak hanya membahayakan perempuan, tapi bahwa seseorang adalah subjek terhadap bentuk tekanan ini karena dia seorang perempuan. Tekanan rasial membahayakan perempuan, tapi tekanan rasial (oleh dirinya sendiri) tidak membahayakan mereka karena mereka perempuan, hal tersebut membahayakan mereka karena mereka adalah anggota dari sebuah ras particular. Sugesti bahwa tekanan seksis terkandung dalam tekanan yang kebenarannya tampil sebagai seorang perempuan menyediakan kita setidaknya awal dari sebuah alat analisa untuk membedakan struktur subordinat yang terjadi untuk mempengaruhi beberapa atau bahkan semua perempuan dari mereka yang lebih spesifik (Haslanger 2004). Akan tetapi permasalahan dan ketidakjelasan masih tersisa.
            Perhitungan sekarang mengenai tekanan didesain untuk membiarkan bahwa tekanan mengambil banyak forma, dan menolak untuk mengidentifikasi satu forma sebagai dasar lebih atau fundamental daripada sisanya. Sebagai contoh, Iris Young mendeskripsikan lima ‘wajah’ dari tekanan: eksploitasi, marginalisasi, ketidakkuasaan, imperialisme budaya dan kekerasan sistematis (Young 1990, Ch. 2). Yang lainnya, sebagai contoh, eksis atau rasi, akan memanifestasi hal itu sendiri dalam cara yang berbeda dan dalam konteks yang berbeda.
2.4 Feminisme sebagai Anti-Seksisme
Bagaimanapun juga, jika kita menggunakan sebuah strategi pluralis dalam memahami tekanan seksis, apa yang menyatukan semua instansi sebagai instansi dari seksisme? Kita tidak bisa mengasumsikan bahwa terdapat penjelasan pokok dari perbedaan cara hal tersebut dalam memanifestasi dirinya sendiri. Jadi, apakah kita dapat berbicara mengenai adanya sebuah penyatuan kasus-kasus sebagai sesuatu yang bisa kita sebut ‘tekanan seksis’?
            Bisa saja, sebagai contoh, bahwa salah satu tampil dalam kelompok karena satu rasa satu kelas atau satu seksualitas dansatu arena tampil menjadi target ketidakadilan. Tapi jika ketidakadilan mengambil sebuah forma yang dianggap sebagai hal yang tepat bagi perempuan, kemudian ketidakadilan itu seharusnya dimengerti secara interseksionalitas, sebagai sebuah respon terhadap sebuah kategori interseksional. Sebagai contoh, praktek pemerkosaanterhadap  perempuan Bosnia, bernama Paula, sebagai ketidakadilan interseksional.
            Tindakan manusia seringkali menjelaskan dengan kerangka yang dipekerjakan untuk membenarkan mereka, seks seseorang mungkin memainkan sebuah peran besar dalam mendeterminasi bagaimana satu diperlakukan karena latar belakang pemahaman sebagai apa penanganan yang cocok untuk distingsi individu di antara seks. Dengan kata lain, penyebab mekanisme sebagai seksisme sering dilempar melalui representasi problematika peran perempuan dan gender.
            Dalam setiap kasus, sebagai perempuan yang tertekan, disebutkan di atas, Paula menderita ketidakadilan, tapi sebuah factor krusial dalam menjelaskan ketidakadilan adalah bahwa Paula adalah seorang anggota dari sebuah anggota particular perempuan. Kami pikir hal ini menjadi krusial dalam pemahaman mengapa seksisme (dan rasisme, dan isme lainnya) terlalu sering dimengerti sebagai bagian dari tekanan. Tekanan adalah ketidakadilan yangmempertimbangkan kelompok; individual ditekan hanya karena mereka disubjekkan terhadap ketidakadilan. Dalam pandangan ini, untuk mengklaim bahwa perempuan sebagai perempuan yang menderita ketidakadilan adalah dengan mengklaim bahwa perempuan ditekan.
            Ke mana hal ini meninggalkan kita? Feminisme adalah sebuah jangkauan pandangan mengenai ketidakadilan terhadap perempuan. Di sana terdapat ketidaksetujuan atas feminis mengenai kealamiahan keadilan secara umum dan kealamiahan seksisme, dalam hal particular, hal-hal spesifik dari ketidakadilan atau penderitaan perempuan yang salah, dan kelompok yang seharusnya menjadi focus utama dari usaha feminis. Meski demikian, feminis berkomitmen untuk membawa perubahan sosial dalam mengakhiri ketidakadilan terhadap perempuan.
3. Topik dalam Feminisme: Ringkasan dari Sub-Entri Ensiklopedia
Adanya rangkaian untuk menimbang perbedaan forma dari feminisme, seharusnya lebih jelas bagaimana isu filosofis muncul dalam memperjelas secara detil dari posisi feminis. Komitmen filosofis yang paling radikal akan menjadi sebuah teori normative yang mengartikulasi sebuah perhitungan dari keadilan dan/atau sebuah perhitungan dari yang baik. Feminis menjadi terlibat dalam mengkritisi teori normative yang sudah ada dan mengartikulasi alternatif-alternatif untuk beberapa waktu sekarang. Sebuah survey dari beberapa pekerjaan ini dapat ditemukan di bawah ‘feminisme, intervensi’, dalam sub-entri terhadap ‘Filsafat Feminis Politik’, seperti, Liberal Feminisme, Feminisme Materialis dan Feminisme Radikal.
            Penjelasan feminis dari seksime dan perhitungan praktik seksis juga memunculkan isu yang berhubungan dengan wilayah penyelidikan filosofis tradisional. Sebagai contoh, dalam berpikir mengenai kepedulian, feminis memiliki pertanyaan yang ditanyakan mengenai kealamiahan diri sendiri; dalam berpikir mengenai gender, feminis memiliki pertanyaan apa hubungan antara yang alamiah dan yang sosial; dalam berpikir mengenai seksime dengan sains, feminis bertanya apa yang seharusnya diperhitungkan sebagai pengetahuan. Dalam kasus mainstream tersebut pertimbangan filosofis menyediakan alat yang berguna; dalam kasus lain, proposal alternatif sepertinya lebih menjanjikan.


Daftar Referensi:
Bowell, T. “Internet Encyclopedia of Philosophy”. 10 December 2014. http://www.iep.utm.edu/f em-stan/
Janack, Marianne. “Internet Encyclopedia of Philosophy”. 10 December 2014. http://www.iep.ut m.edu/fem-epis/
Langton, Rae. “Feminism in Philosophy”. 10 December 2014. http://web.mit.edu/langton/www/ pubs/FeminismInPhilosophy.pdf

Washington, Univ. “Feminist Philosophy”. 10 December 2104. http://www.phil.washington.edu/ specialization/feminist-philosophy